Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto usai pertemuan terkait antisipasi kerawanan Pilkada, di Jalan Denpasar, Kuningan, Jakarta, 30 Agustus 2016. TEMPO/Yohanes Paskalis
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto, meminta agar masyarakat tidak lagi menyulut kebencian ihwal peristiwa pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu. "Untuk menyelesaikan masalah itu jangan menyulut kebencian atau dendam," kata dia di Monumen Pancasila, Lubang Buaya, Jakarta Timur, Sabtu, 1 Oktober 2016.
Wiranto mengatakan pemerintah telah bertekad menyelesaikan utang masa lalu, khususnya peristiwa G 30 S, dengan cara rekonsiliasi. Ia berharap keputusan ini adalah tindakan yang adil dan diterima masyarakat dengan ikhlas. "Agar bangsa ini tetap dapat menang dalam satu persaingan global," ujar dia.
Selain G 30 S, Wiranto mengatakan pemerintah juga tengah memikirkan penyelesaian pelanggaran HAM berat lainnya. Namun, saat ini pemerintah masih fokus di satu masalah dulu. "Satu-satu karena ini kan perlu waktu, perlu kearifan, perlu satu pemikiran yang mendalam," ujar dia.
Langkah rekonsiliasi ini ditempuh karena pemerintah tak menemukan bukti yang cukup untuk menyelesaikan peristiwa pelanggaran HAM dengan hukum pidana. Wiranto mengatakan peristiwa G 30 S merupakan kondisi darurat yang dapat dibenarkan secara hukum.
Wiranto mengatakan keputusan ini berdasarkan kajian yang dilakukan oleh tim gabungan yang terdiri dari Kejaksaan Agung, Komnas HAM, TNI/Polri, pakar hukum, serta aspirasi dari masyarakat. Dari kajian hukum pidana, kata dia, tindakan darurat yang dilakukan pada saat itu tidak dapat dinilai dengan karakter hukum masa sekarang.
Berdasarkan bedah kasus yang dilakukan penyelidik Komnas HAM dan penyidik Kejaksaan Agung, hambatan yuridis yang ditemui dalam penanganan kasus ini adalah tak adanya alat bukti yang cukup. Wiranto mengatakan terdapat kesulitan untuk membuktikan pelanggaran pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM.