Walhi: Ekologi Kawasan Hulu Sungai Brantas Kritis
Editor
MC Nieke Indrietta Baiduri
Jumat, 23 September 2016 15:18 WIB
TEMPO.CO, Malang – Anggota Dewan Daerah Wahana Lingkungan Hidup Jawa Timur, Purnawan D. Negara, mengatakan kawasan hulu Sungai Brantas mengalami ekologi kritis. Dalam satu dekade terakhir, separuh sumber mata di daerah kaki Gunung Arjuna ini, mati. Padahal sepuluh tahun lalu, jumlah sumber mata air di hulu sebanyak 421 tersebar di Kota Batu, Mojokerto, dan Pasuruan.
"Sebagian besar di Batu, ada 111 sumber mata air," katanya, Jumat, 23 September 2016. Dari jumlah itu, separuhnya juga mati.
Purnawan menjelaskan sumber mata air itu mati karena berbagai faktor meliputi kerusakan kawasan karena alih fungsi lahan. Misalnya kawasan konservasi berubah menjadi kawasan terbangun. Dia mencontohkan, pembangunan vila dan resor yang berdekatan dengan sumber mata air Gemulo di Bulukerto, Bumiaji, Kota Batu.
Untuk mencegah kerusakan lebih parah, Pemerintah Kota Batu diharapkan melakukan penataan kawasan untuk mempertahankan kawasan lindung atau konservasi atau menambah kawasan lindung. Caranya dengan membebaskan lahan digunakan untuk kepentingan konservasi mempertahankan sumber air.
Selain itu, Pemerintah Kota Batu juga harus mendata dan menganalisis penyebab matinya sumber mata air. Selanjutnya, kata Purnawan, dilakukan usaha untuk mengembalikan sumber mata air kembali mengalir. Dengan demikian, dia berujar, masyarakat setempat menggantungkan hidupnya dengan air untuk air minum dan mengaliri areal perkebunan buah, bunga, dan sayuran di Batu.
Adapun Sungai Brantas mengalir sepanjang 320 kilometer melintasi 14 kabupaten dan kota di Jawa Timur. Air Sungai Brantas menghidupi warga Jawa Timur sebagai bahan baku air minum, irigasi, memenuhi bahan baku industri, dan pembangkit listrik.
Gubernur Jawa Timur Soekarwo mengklaim telah berhasil merehabilitasi kawasan hulu Sungai Brantas. Dia menyebut, selama lima tahun terakhir, jumlah sumber mata air saat musim kemarau bertambah dari semula 29 mata air menjadi 57 mata air.
"Dulu jumlah mata air mencapai 147," kata Gubernur dalam Kongres Air Indonesia kedua di Waduk Selorejo, Jumat, 22 September 2016. Kongres diikuti 800 peserta, terdiri atas aktivis lingkungan hidup, warga sekitar bantaran sungai, mahasiswa, dan pelajar.
Soekarwo mengatakan kawasan hulu Sungai Brantas di lereng Gunung Arjuna banyak berubah menjadi lahan pertanian tanaman sayuran dan bunga yang mudah longsor. Untuk itu, dia melanjutkan, dilakukan penghijauan berapa tegakan untuk menahan laju longsor dan menyerap air. Sebagian besar vegetasi berupa pohon sengon, yang digunakan untuk bahan baku sebelas pabrik pengolahan kayu di Jawa Timur. "Dulu di hulu ditanami sayuran, sekarang banyak tegakan," katanya.
Penghijauan di kawasan hulu itu, kata dia, telah meningkatkan indeks kualitas udara, indeks kualitas air dan indeks tutupan lahan. "Survei lingkungan hidup indeksnya 64,01."
EKO WIDIANTO