Sekolah Alternatif Gelar Pertemuan Nasional di Yogyakarta
Editor
Raihul Fadjri
Minggu, 18 September 2016 18:13 WIB
TEMPO.CO, Yogyakarta - Kecewa terhadap sistem pendidikan nasional yang tak jelas, sekitar 50 lembaga pendidikan alternatif di Indonesia sepakat berkumpul di Yogyakarta untuk menggelar Pertemuan Nasional Pendidikan Alternatif pada 21-23 Oktober 2016.
Pertemuan nasional pertama kali itu mengagendakan konsolidasi internal sekaligus mengevaluasi dan membuat rumusan pedagogi (strategi pembelajaran) dan filosofi pendidikan.
“Ini bukan gerakan melawan sekolah mainstream (formal). Tapi ingin menunjukkan pada negara dan masyarakat kalau kami (sekolah alternatif) itu ada,” kata koordinator pelaksana Pertemuan Nasional Pendidikan Alternatif, Susilo Adinegoro, saat ditemui di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Sanggar Anak Alam di Nitiprayan, Kabupaten Bantul, Sabtu, 17 September 2016.
Beberapa persoalan pendidikan yang telah diinventarisasi, antara lain penerapan akreditasi sekolah oleh pemerintah dengan menjadikan fasilitas fisik sebagai indikatornya, seperti gedung sekolah. Indikator itu muskil diterapkan terhadap sekolah alternatif.
“Enggak bisa. Di Garut, anak-anak belajar di kebun,” kata Susilo, yang juga pendamping anak pinggiran di Sekolah Otonom Sanggar Anak Akar di Jakarta.
Begitu juga dengan ijazah yang menjadi indikator anak lulus. Di sisi lain, ada anak yang memang tidak berkehendak mendapat ijazah. Bagi anak dari sekolah alternatif yang ingin mendapatkan ijazah bisa disiasati dengan mengikuti Paket Belajar A, B, atau C. Namun, Ketua PKBM Sanggar Anak Alam, Sri Wahyaningsih, menemukan persyaratan diskriminatif untuk mengikuti pendidikan militer TNI yang menolak ijazah Paket C, melainkan harus dari ijazah sekolah formal.
“Masih ada yang tidak percaya diri kalau tanpa ijazah. Seolah ijazah itu seperti Tuhan,” kata Wahya.
Pendiri PKBM Sanggar Anak Alam itu pun menyoroti kebijakan sistem pendidikan yang selalu berubah bergantung siapa Menteri Pendidikan. Selain itu, sejumlah kepala daerah juga ada yang melarang sekolah alternatif tumbuh dan berkembang di daerahnya. “Di Bantul pemerintah tidak mengintervensi, tapi juga tidak memberi dukungan dana,” kata Wahya.
PITO AGUSTIN RUDIANA