Sejumlah obat palsu dari berbagai merek diperlihatkan saat rilis di Ditreskrimsus Polda Metro Jaya, Jakarta, 9 November. Polda Metro Jaya mengamankan 25 jenis obat palsu dan menahan satu orang tersangka. TEMPO/M Iqbal Ichsan
TEMPO.CO, Makassar - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Makassar menemukan peredaran obat palsu di beberapa daerah di Provinsi Sulawesi Selatan. "Sudah telanjur beredar di masyarakat meski jumlahnya masih relatif sedikit," kata Kepala BPOM Makassar Muhammad Guntur kepada Tempo, Jumat, 9 September 2016.
Menurut Guntur, obat-obat palsu itu ditemukan di Kota Parepare, Kota Palopo, Kabupaten Enrekang, Bulukumba, dan Kabupaten Gowa. Selain tidak memiliki nomor registrasi, tanggal kedaluwarsanya diubah.
Guntur menjelaskan, berdasarkan uji laboratorium, obat-obat itu tidak sesuai dengan komposisi yang tercantum pada kemasannya. Itu sebabnya, BPOM Makassar langsung menarik obat itu dari pasaran. "Rata-rata obat itu ditemukan di toko obat dan apotek," ujarnya.
Razia obat-obat palsu gencar dilakukan BPOM Makassar menyusul adanya temuan obat palsu lebih dari 42 juta butir. "Ternyata penjualan obat palsu juga menyasar di beberapa daerah di Sulawesi Selatan," ujar Guntur.
Selain menemukan obat palsu, BPOM merazia makanan kedaluwarsa yang diduga akan beredar menjelang hari raya Idul Adha. Guntur mengatakan, pihaknya langsung menyita produk makanan itu untuk dimusnahkan.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Makassar Naisyah Tun Azikin mengatakan, pihaknya juga melakukan pengawasan terhadap peredaran obat-obat ilegal. Para penyalur obat di Makassar telah diminta untuk memeriksa obat yang tidak terdaftar pada data yang dirilis Kementerian Kesehatan. "Belum ada temuan obat palsu yang diduga didistribusikan dari Jakarta," tuturnya. ABDUL RAHMAN
Pada Juli 2016, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan bahwa vaksin pertama untuk mencegah demam berdarah tersedia untuk masyarakat di seluruh dunia yang berusia 9 sampai 60 tahun. Ini berita baik bagi Indonesia, tempat demam berdarah mempengaruhi lebih dari 120 ribu orang dengan beban biaya US$ 323 juta (sekitar Rp 4,3 triliun) setiap tahun.