Soal Haji ke Filipina, Imigrasi Malang Sebut Ada Kerja Sama
Editor
Budi Riza
Sabtu, 27 Agustus 2016 01:42 WIB
TEMPO.CO, Malang - Kepala Seksi Lalu Lintas Keimigrasian Kantor Imigrasi Malang Galih Priya Kartika Perdhana menunjukkan bukti fotokopi perjanjian kerja sama antara PT Tisaga Nurkhotimah dan Kelompok Bimbingan Ibadah Haji Arafah tentang Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Umrah Tahun 2014-2015. Perjanjian yang berlaku sampai 11 Januari 2016 ini ditandatangani H Abdul Rauf (pihak pertama), Direktur PT Tisaga Nurkhotimah, dan Direktur Utama Arafah H Nurul Huda (pihak kedua).
KBIH Arafah merupakan satu dari tujuh biro perjalanan yang diduga terlibat dalam pemberangkatan 177 calon haji yang tertahan di Filipina. Perusahaan ini beralamat di Jalan Dr Soetomo 32, Dusun Klampok, Desa Sumbergedang, Kecamatan Pandaan, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Sedangkan PT Tisaga beralamat di Jalan Letjen Suprapto Kav. 160 Perkantoran Cempaka Putih Blok A11, Jakarta Pusat.
Menurut Galih, PT Tisaga di Jakarta memberi kepercayaan kepada KBIH Arafah di Pasuruan untuk mencari calon haji. Didapatlah 10 calon haji yang kemudian dibuatkan paspor tadi. KBIH Arafah masih menggunakan paspor 10 calon haji yang diterbitkan Kantor Imigrasi Malang saat menerbangkan mereka dengan rute Malang-Surabaya-Jakarta-Kuala Lumpur-Manila pada 16 Agustus lalu.
Mereka tetap bertujuan umrah. Tapi, sampai di Manila, ada agen yang mengurus pembuatan paspor Filipina bagi semua calon haji yang dibawa KBIH Arafah. Paspor Filipina diberikan kepada mereka agar bisa melaksanakan ibadah haji, bukan lagi untuk umrah. Sampai di sini, barulah muncul perkara pelanggaran aturan keimigrasian Filipina. Calon haji ini, yang berjumlah 177 orang, dianggap ilegal.
Galih mengatakan KBIH Arafah diduga memanfaatkan ketidaktahuan para calon haji mengenai prosedur administrasi pembuatan paspor sehingga mereka menerima saja paspor Filipina yang diberikan. Padahal, berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, ditambah UU Keimigrasian, saat mereka menerima paspor negara lain, berarti secara simbolis mereka sudah bukan lagi warga negara Indonesia.
Masalahnya, bergantinya kewarganegaraan itu berlaku apabila mereka menerima paspor negara atas kemauan sendiri. Galih berasumsi mereka menerima paspor Filipina karena ketidaktahuan saja. Rata-rata calon haji yang bermasalah itu sudah uzur—calon haji asal Pasuruan tertua kelahiran 1940—dengan latar pendidikan yang rendah. Sebagian malah tak bisa baca-tulis.
“Tapi,” Galih mengatakan, “kami tak bisa lagi masuk ke masalah itu karena bukan lagi wilayah yurisdiksi kami. Masalah itu murni masalah keimigrasian di Filipina dan pemerintah kita, melalui KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) di Manila, terus berupaya membantu mereka.”
Sejauh informasi yang didapat Galih, 177 calon haji yang ditahan otoritas imigrasi Filipina—sebagian besar sudah dibebaskan—itu nekat berangkat haji lewat Filipina karena mereka tak sabar menunggu lamanya masa antrean untuk berhaji di Indonesia. Masa tunggu giliran berhaji bisa mencapai 20 tahun dan bahkan lebih dari 30 tahun.
ABDI PURMONO