Megawati Usul Kata Pramuka Jadi Praja Muda Karana
Editor
Untung Widyanto koran
Minggu, 21 Agustus 2016 14:14 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Megawati Soekarnoputri mengusulkan agar sebutan pramuka jangan disingkat, tapi harus lengkap yaitu praja muda karana atau kaum muda yang berkarya. Pernyataan presiden ke-5 RI ini disampaikan saat acara penutupan Jambore Nasional di Bumi Perkemahan Pramuka di Cibubur, Jakarta Timur pada Sabtu malam, 20 Agustus 2016.
Pada acara itu, Megawati mendapat lencana Tunas Kencana, penghargaan tertinggi Gerakan Pramuka kepada sosok yang berjasa untuk organisasi kepramukaan di Indonesia. Penyematan lencana itu dilakukan Ketua Kwarnas Gerakan Pramuka Adhyaksa Dault, mantan Menpora di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Setelah penyematan lencana Tunas Kencana, Adhyaksa mencium tangan Megawati.
Megawati yang menjabat ketua umum PDI Perjuangan menjelaskan makna tunas kelapa sebagai simbol Gerakan Pramuka. Pohon kelapa banyak terdapat di wilayah pesisir Tanah Air. Pohon ini, katanya, tidak mudah tumbang oleh badai, dan buah, batang dan daunnya sangat bermanfaat.
"Itulah semangat yang harus ada dalam gerakan yang selalu disingkat pramuka. Harusnya juga disebut langsung tanpa disingkat, yakni praja muda karana atau gerakan anak muda yang berkarya," kata Megawati dalam pidato tanpa teks.
Menurut Mega, akan berbeda maknanya jika kita menyebutnya sebagai praja muda karana, bukan lagi pramuka. Makna praja muda karana adalah orang muda yang kreatif, tegar, jujur, disiplin, mencintai bangsa dan negara. "Mereka adalah garda terdepan bangsa dan sesuai manfaat pohon kelapa, yang semua bagiannya bermanfaat," katanya.
Dia mencontoh makanan gudeg dari Jawa Tengah dan Yogya yang menggunakan santan dari pohon kelapa. Begitu juga makanan papeda atau bubur sagu khas Maluku dan Papua. Warga membuat sapu dari batang lidi pohon kelapa. "Sapu itu akan menyapu semua halangan yang kita hadapi," kata Megawati yang pernah menjadi Ketua Majelis Pembimbing Nasional Gerakan Pramuka.
Megawati menjelaskan telah mengusulkan kepada Adhyaksa Dault untuk menambah jumlah peserta Jambore Nasional pada lima tahun mendatang. Dia menilai kegiatan perkemahan besar lima tahun sekali ini sangat bermanfaat bagi remaja di Tanah Air. "Ibu selalu memantau dan mendengar bagaimana kalian selalu disiplin dan riang gembira," katanya dihadapan sekitar 20.000 peserta Jambore Nasional yang berlangsung 14-20 Agustus 2016.
Istilah pramuka ada dalam Keputusan Presiden Nomor 238 Tahun 1961 tentang Gerakan Pramuka. Keputusan itu ditandatangani Ir Djuanda, sebagai Pejabat Presiden pada 20 Mei 1961, karena saat itu Presiden Soekarno sedang melakukan kunjungan ke luar negeri. Istilah pramuka diperkenalkan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dalam rapat di Ciloto, Jawa Barat.
Dalam buku berjudul "Sri Sultan Hamengku Buwono IX : Pejuang dan Pelestari Budaya," karangan Suratmin dan Daliso Rudianto, digambarkan perseteruan politik menjelang kelahiran Gerakan Pramuka.
Pada tahun 1960, Presiden Soekarno memerintahkan Menteri P dan K Prijono yang beraliran kiri, untuk mempersatukan organisasi kepanduan Indonesia. Untuk itu pada tahun 1960 diadakan suatu rapat di Ciloto, yang dihadiri oleh Sri Sultan HB IX, waktu itu menjadi Ketua Pengawas Kegiatan Aparatur Negara. Rapat itu gagal mempersatukan kegiatan kepanduan, sehingga Bung Karno turun tangan dengan memberi intruksi kepada Prijono.
Menteri Azis Saleh curiga dengan langkah Prijono yang bermaksud memberi nama Pionir Muda yang berbau komunis kepada kepanduan Indonesia. Menteri Prijono juga mencoba mengubah warna kacu (dari pandu) dengan warna merah. Azis kemudian membocorkan rencana Prijono kepada federasi kepanduan. “Kalau itu jadi habislah riwayat kepanduan di Indonesia,” kata Azis Saleh kepada mereka.
Azis Saleh mengajukan agar federasi-federasi kepanduan menjadi satu. Tujuannya mencegah agar rancangan Menteri Prijono menjadi keputusan presiden. Dalam suatu rapat IPINDO yang dipimpin Sri Sultan, Azis Saleh kemudian mengusulkan agar kepanduan di Indonesia disesuaikan dengan kepanduan yang sudah merdeka. Usul ini didukung oleh Sri Sultan.
Azis Saleh diberi tugas oleh federasi kepanduan untuk membuat rencana yang kemudian diajukan dalam sidang kabinet yang dipimpin oleh Perdana Menteri Ir. Djuanda. Pada sisi lain, Menteri Prijono sempat memberikan rancangannya kepada Istana dan ditandatangani oleh Bung Karno karena mengira kertas kerja itu disusun oleh tim. Prijono menghendaki agar janji kepada negara didahulukan dari berjanji kepada Tuhan, seperti yang tercantum dalam pramuka.
Sri Sultan dan banyak tokoh lain tidak setuju dengan konsep Pionir Muda-nya Prijono yang berbau komunis. Dalam anggaran dasar yang ditandatangani Djuanda itu, kata “pandu” diganti dengan “pramuka”, semacam pasukan yang berdiri paling depan dalam peperangan. Menurut Suratmin dan Daliso Rudianto, jadi tidak benar anggapan kata itu diperkenalkan oleh Menteri Prijono yang memperkenalkan istilah Pionir Muda.
Istilah pramuka diperkenalkan Sri Sultan dalam rapat di Ciloto. Lalu, kata “pramuka” sama dengan Pionir Muda, sebutan ini diakali seolah-olah merupakan Praja Muda Karana yang artinya warga negara muda yang bekerja.
Suratmin dan Daliso Rudianto menjelaskan, istilah Praja Muda Karana berasal dari Soemartini, mahasiswi Fakultas Sastra Universitas Indonesia yang menjadi salah satu pemimpin kepanduan. Jadi istilah 'pramuka' dan 'praja muda karana' memiliki makna historis dan politis.
UNTUNG WIDYANTO