TEMPO.CO, Sumenep - Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Askary Razak membenarkan bahwa pihaknya telah menginvestigasi kasus pencabulan yang dilakukan seorang guru mengaji terhadap enam muridnya di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. Investigasi dilakukan setelah ada informasi dari Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat tentang kasus tersebut.
"Para orang tua korban sempat datang ke Jakarta. Mereka minta bantuan karena kasus ini mandek," katanya saat dihubungi Tempo, Kamis, 11 Agustus 2016.
Kasus pencabulan yang dimaksud LPSK terjadi pada 12 Februari 2016 di Desa Morassem, Kecamatan Pasongsongan. AM, 50 tahun, guru mengaji di Morassem, digerebek warga saat menyodomi seorang muridnya. Modusnya, AM mengiming-imingi korbannya dengan uang dan rokok agar mau dicabuli.
Menurut Askary, dari enam korban yang berusia 14-17 tahun, satu di antaranya masih mengalami trauma dan membutuhkan penanganan khusus dari psikolog. Sedangkan korban lain kondisinya baik dan stabil. "Senin depan, kami akan putuskan, korban butuh perlindungan apa tidak," ucapnya.
Sementara itu, soal tersangka AM, Askary menuturkan, dari hasil penelusuran di lapangan, AM dibebaskan demi hukum karena masa penahanannya habis. Namun pelepasan itu tidak berarti penyelidikan kasusnya terhenti. "Kasus tetap lanjut," katanya.
Menurut Askary, berkas perkara pencabulan guru mengaji sulit dilengkapi penyidik Kepolisian Resor Sumenep karena tersangka diduga mengalami gangguan jiwa. Jadi Kejaksaan Negeri Sumenep belum mau meningkatkan ke tahap penyidikan karena memerlukan kepastian kondisi kejiwaan pelaku dengan pemeriksaan oleh dokter ahli jiwa.
Kepastian itu, tutur dia, dibutuhkan karena Pasal 44 KUHP menyebutkan penderita gangguan jiwa berat tidak bisa diproses hukum. "Lanjut-tidaknya kasus ini bergantung pada hasil pemeriksaan kondisi kejiwaan pelaku," ujar Askary.