TEMPO.CO, Jakarta - Pengacara terpidana mati Seck Osmane, Farhat Abbas, mendatangi kantor Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, untuk meminta penundaan eksekusi mati kliennya, Selasa, 26 Juli 2016. Farhat berencana mengajukan grasi terkait kasus yang menjerat Seck.
Farhat datang di Kejaksaan untuk mengirim surat keberatan kepada Jaksa Agung atas rencana eksekusi mati kliennya. "Saya meminta hak-hak narapidana diperhatikan," ujar dia kepada wartawan.
Seck Osmane adalah warga negara Afrika Selatan yang divonis mati karena terbukti sebagai bandar narkotika dan obat bius. Farhat mengatakan kliennya itu sudah berada dalam ruang isolasi di Lembaga Pemasyarakatan Batu, Nusakambangan, Jawa Tengah. Ia telah menyediakan rohaniawan sebagai pendamping buat Seck.
Ia berencana mengajukan permohonan grasi besok. Menurut Farhat, kliennya masih berhak mengajukan grasi meski perkaranya diputus pengadilan pada 2004. Ia mengatakan Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Grasi telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi bulan lalu.
Isi Pasal 7 ayat 2 yaitu; "Permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap." MK membatalkan pasal ini melalui sidang pleno pada 15 Juni lalu. Uji materi diajukan oleh terpidana mati Suud Rusli.
Farhat menjelaskan, setelah putusan MK itu, permohonan grasi tidak dibatasi. Sebelum putusan MK, kata dia, kliennya pernah mau mengajukan grasi tapi ditolak karena dianggap bertentangan dengan undang-undang ini. "Oleh karena itu kami meminta kepada Presiden melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum agar memberi kesempatan kepada klien kami, Seck Osmane, untuk besok kami daftarkan grasi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan," katanya.
Ia mengatakan makna filosofi dari putusan MK adalah hak konstitusional dari narapidana tidak dibatasi. "Apabila kejaksaan masih melaksanakan secara paksa tanpa mempertimbangkan hal-hal lain, kami menganggap ini adalah pelanggaran hak asasi manusia dan penyalahgunaan kekuasaan," ujar Farhat.
Ia menganggap putusan MK ini berlaku surut. "Undang-undang itu berlaku menyeluruh dan bagi seluruh narapidana untuk mendapat permohonan grasi, baik diterima maupun ditolak oleh Presiden," kata dia.
Menurut Farhat, kapan pun terpidana dapat mengajukan pengampunan selama belum mengajukan grasi atau grasinya ditolak. "Walau satu jam sebelum dieksekusi, masih harus diberi kesempatan kepada terpidana mati untuk melakukan upaya mohon ampun kepada Pak Presiden."
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Noor Rochmad berbeda pendapat dengan Farhat. "Saya sudah konfirmasi kepada ketua MK bahwa aturan ini tidak berlaku surut, artinya untuk ke depan," katanya.
Rochmad menjelaskan, putusan MK juga mengatur bahwa terpidana mati yang pernah mengajukan grasi dan ditolak, diberi kesempatan dalam 2 tahun untuk kembali mengajukan grasi. "Putusan MK tidak berlaku surut, saya langsung bertemu dengan ketua MK," ujarnya. "Kalau tidak percaya tanya ke Pak Ketua MK, dia bisa menjelaskan."
Meski demikian, Farhat tetap bertekad untuk mendaftarkan pengajuan grasi besok. "Besok sekitar jam satu," ujar dia sebelum meninggalkan Kejaksaan Agung.
REZKI ALVIONITASARI