Universitas Brawijaya Buka Pendidikan Profesi Insinyur
Editor
Nunuy nurhayatiTNR
Jumat, 22 Juli 2016 22:20 WIB
TEMPO.CO, Malang - Mulai tahun ini Universitas Brawijaya membuka program pendidikan profesi insinyur, bersamaan dengan 39 perguruan tinggi lain. Angkatan pertama dibuka dua kelas, masing-masing kelas berisi 40 orang. "Pendidikan selama setahun, 30 persen di kelas selebihnya praktik di lapangan dan industri," kata Dekan Fakultas Teknik Pitojo Tri Juwono, Jumat, 22 Juli 2016.
Program pendidikan profesi insinyur merupakan upaya untuk meningkatkan keahlian sarjana teknik. Terutama menghadapi pasar bebas dan Masyarakat Ekonomi ASEAN, ketika tenaga ahli dari luar negeri membanjiri Indonesia. "Jika tak disiapkan dengan kualitas yang lebih unggul akan mengancam tenaga ahli lulusan perguruan tinggi dalam negeri," kata Tri.
Sesuai Undang Undang Nomor 11 Tahun 2014 tentang Profesi Keinsinyuran mengamanatkan pendidikan profesi insinyur. Kurikulum yang disusun oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi meliputi membekali mahasiswa dengan kode etik, keselamatan kerja dan manajemen industri. "Di dunia internasional yang diakui insinyur, bukan sarjana teknik," ujar Tri.
Sementara, kata Tri, insinyur bergabung dalam organisasi profesi Persatuan Insinyur Indonesia (PII) yang memiliki jejaring internasional. Tak hanya monopoli sarjana teknik, program pendidikan profesi insinyur juga terbuka untuk jurusan sains yang lain seperti sarjana pertanian dan peternakan.
Tri menjelaskan, perguruan tinggi penyelenggara pendidikan profesi insinyur harus memiliki tiga program studi teknik, 50 persen terakreditisi A dan memiliki sekurang-kurangnya lima tenaga dosen insiyur profesional madya. Selama ini, kata dia, terjadi ketimpangan antara kebutuhan tenaga insinyur dengan program infrastruktur.
Selama praktik mahasiswa program pendidikan profesi insinyur terlibat dan berkontribusi di tempat praktik. Juga membuat terobosan dan membantu industri melakukan terobosan. "Jika tak dibekali keahlian yang memadai dikhawatirkan akan menyebabkan mutu pekerjaan konstruksi amburadul," katanya.
Kementerian Pekerjaan Umum misalnya memiliki anggaran mencapai Rp100 triliun pertahun sebelumnya Rp 60 triliun. Sedangkan pegawai turun dari 27 ribu menjadi 22 ribu. Demikian juga dengan Kementerian Desa yang awalnya anggarannya sebesar Rp40 triliun naik Rp100 triliun. "Belum lagi infrastruktur yang dibangun swasta dan BUMN," ujar Tri.
Produktifitas Perguruan Tinggi dalam mencetak tenaga ahli pun tergolong rendah dibanding negara lain. Di Cina rasio insinyur dari 1 juta penduduk memiliki 5.500 insinyur, Amerika 5.000 insinyur, dan Malaysia 3.300 insinyur. Sedangkan Indonesia baru 1.000 insinyur.
Sementara itu, dari sekitar 45 persen lulusan sarjana teknik yang bekerja konsisten di bidangnya. "Selebihnya bekerja di bidang yang berbeda," ujar Tri. Univeritas Brawijaya, menurut Tri, selama ini telah meluluskan sebanyak 119 ribu sarjana teknik. Sekitar 50 persen yang bekerja sesuai bidang.
EKO WIDIANTO