TEMPO.CO, Jakarta- Para pejabat di Istana Kepresidenan mengunci mulut rapat-rapat soal isi surat Presiden Joko Widodo yang dikirimkan kepada Presiden Filipina Rodrigo Duterte. Namun inti surat itu ditengarai tentang pembebasan sepuluh warga Indonesia yang disandera kelompok Abu Sayyaf.
Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan isi surat tersebut hanya boleh diketahui pihak Istana Kepresidenan. "(Soal surat itu) hanya kami yang tahu," ujarnya di kompleks Istana Kepresidenan, Rabu, 13 Juli 2016.
Sebelumnya, Jokowi mengirim surat kepada Duterte untuk membicarakan nasib para sandera. Duterte, yang dikenal dengan julukan The Punisher, dikabarkan merespons surat Jokowi dengan membentuk tim negosiator ke Abu Sayyaf.
Informasi yang beredar di kalangan wartawan menyebutkan Presiden Jokowi memberi sejumlah penawaran kepada Duterte dalam surat itu. Penawaran tersebut muncul tak lama setelah larangan kapal Indonesia melaut di perairan Filipina.
Larangan itu meminta kapal Indonesia atau kapal apa pun yang berisi warga negara Indonesia tidak berlayar ke Filipina. Selama ini batu bara untuk pasokan listrik di Filipina dikirim Indonesia melalui jalur laut.
Dari sepuluh warga Indonesia yang ditawan kelompok Abu Sayyaf, tiga di antaranya diculik dan disandera pada pekan lalu saat mereka berada di perairan Sabah, Malaysia. Mereka dibawa ke Filipina selatan setelah kewarganegaraannya dicek penyandera.
Pramono tak membantah atau membenarkan adanya tawaran dari Presiden Jokowi. Namun, kata dia, masalah itu hanya boleh diketahui Istana. Selebihnya, soal penyanderaan, Pramono menyarankan agar ditanyakan kepada Menteri Luar Negeri Retno Marsudi. "Tanya Menlu."