Menteri Kesehatan, Nila F Moeloek mengendong balita, Indira Alifa Audy Prasetyo (3 bulan) putri dari Risna Agustina yang diduga menerima vaksin palsu di Klinik Bidan M Elly Novita S di Ciracas, Jakarta Timur, 30 Juni 2016. Kementerian Kesehatan memberikan vaksin ulang secara gratis kepada Balita yang diduga menerima vaksin palsu. Tempo/Dian Triyuli Handoko
TEMPO.CO, Jakarta - Pengacara Osner Johnson Sianipar berniat menjadi kuasa hukum korban vaksin palsu. "Saya akan ke klinik di Ciracas yang disebut terdapat vaksin palsu di sana," katanya kepada Tempo melalui sambungan telepon, Sabtu, 2 Juli 2016.
Osner mengatakan empat hari yang lalu, orang tua seorang anak datang meminta perlindungan hukum. Orang tua yang tak disebutkan namanya oleh Osner ini khawatir anaknya pernah diberi vaksin palsu sewaktu imunisasi. Alasannya, sejak lahir anaknya sehat dan normal, namun, pada usia 3 tahun ada kelainan. "Dia seperti autis."
Osner menjelaskan, anak yang kini berusia 11 tahun itu tiga kali diimunisasi di sebuah Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di Bekasi sejak 2006. Osner memberikan waktu satu pekan kepada ibu dari anak ini untuk mengumpulkan bukti dan data. Seperti, nama vaksin yang dulu disuntikkan ke anaknya dan nama petugas yang memberi vaksin.
"Saya selaku pengacara yang selama ini menangani banyak korban, harus punya data otentik," kata Osner. Ia tak mau asal datang ke kantor polisi tanpa bukti yang akurat.
Osner juga berinisiatif untuk mengumpulkan anak-anak korban vaksin palsu lainnya. Mereka diminta kolektif, sekaligus memberikan penjelasan kepada publik. "Bagi yang merasa pernah diberi vaksin palsu segera minta perlindungan hukum, kami sudah siap mendampingi," ujar Osner.
Ia berniat mengajukan tuntutan pidana dan perdata di polisi. "Kami juga akan minta ganti rugi akibat vaksin yang dikeluarkan tersangka ini," katanya.
Osner menambahkan akibat dari kelakuan sindikat vaksin palsu, tubuh anak-anak tidak kebal terhadap penyakit. Seharusnya, vaksin bisa mematikan virus atau bakteri dalam tubuh anak. Tetapi karena palsu, bisa berdampak dalam jangka waktu panjang.
Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Badan Reserse Kriminal Umum Polri saat ini menangani kasus vaksin palsu. Sebanyak 18 orang ditetapkan sebagai tersangka. Mereka terdiri dari pembuat, distributor, penyedia botol, pencetak kemasan, penjual, hingga bidan. Mereka diduga menjalankan kejahatan ini sejak 2003.
Pada Juli 2016, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan bahwa vaksin pertama untuk mencegah demam berdarah tersedia untuk masyarakat di seluruh dunia yang berusia 9 sampai 60 tahun. Ini berita baik bagi Indonesia, tempat demam berdarah mempengaruhi lebih dari 120 ribu orang dengan beban biaya US$ 323 juta (sekitar Rp 4,3 triliun) setiap tahun.