Kerabat dan warga mengangkat keranda jenazah Siyono, setelah disalatkan di Brengkungan, Cawas, Klaten, Jawa Tengah, Ahad dinihari, 13 Maret 2016. Siyono merupakan terduga teroris yang meninggal dunia saat proses penyelidikan yang dilakukan oleh kepolisian. ANTARA/Aloysius Jarot Nugroho
TEMPO.CO, Jakarta - Tim Panitia Khusus (Pansus) pembahasan perubahan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme mewacanakan membentuk dewan pengawas untuk operasi penanganan terorisme. Ketua Pansus Revisi UU Terorisme Muhammad Syafii mengatakan hal tersebut mengemuka agar penanganan terorisme memperhatikan hak asasi manusia.
"Ada pikiran dari fraksi-fraksi perlunya dibentuk dewan pengawas untuk mengawasi program dan transparansi audit untuk operasi penanganan terorisme," kata Muhammad Syafii dalam sesi seminar nasional di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu, 25 Mei 2016.
Menurut Syafii, usul ini dianggap penting karena adanya temuan dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan Detasemen Khusus Antiteror 88 (Densus 88) terhadap Siyono, terduga teroris yang tewas. Dugaan pelanggaran itu berdasarkan laporan dari beberapa lembaga, seperti PP Muhammadiyah, Kontras, dan Komnas HAM.
Syafii mengatakan seluruh pihak sepakat tidak menyetujui tindakan terorisme. Namun ada juga keinginan agar penanganan terorisme tetap tidak melanggar hukum dan HAM. Dari segi perlindungan HAM, kata Syafii, Pansus sudah dalam revisi RUU Terorisme dengan jelas dari proses penangkapan hingga penuntutan. "Pemerintah kan mau tambah masa tahanan dari 180 hari menjadi 510 hari. Dalam rapat internal, Pansus bilang ini pasal Guantanamo," ujarnya.
Terkait dengan korban terorisme, Syafii mengatakan perlu ada perlakuan tertentu dan kondisi yang tepat ketika menentukan subyek korban terorisme. Selain itu, perlu diatur jumlah kompensasi dan bentuk rehabilitasi bagi korban. "Dalam KUHAP, korban itu baru ada kalau ada pelaku. Jika pelakunya bunuh diri, apakah korban jadi enggak ada? Kalau ada, siapa yang menetapkan?" tuturnya.