Fobia PKI, Soekarno: 'Tidak dengan Menggorok Orang Komunis'
Editor
Untung Widyanto koran
Selasa, 17 Mei 2016 11:11 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Fobia komunisme makin menyebar setelah Kementrian Koordinator Politik, Hukum, dan Hak Asasi Manusia memfasilitasi simposium nasional bertema “Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan”.
Simposium itu berlangsung di Hotel Aryaduta Jakarta pada 18-19 April 2016. Pelaksana acara itu adalah Forum Silaturahmi Anak Bangsa. Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Letnan Jenderal (Purn) Agus Widjojo menjadi ketua panitia pengarah acara tersebut. Agus adalah putera dari salah satu Pahlawan Revolusi yakni, Mayjen (Anumerta) Sutoyo Siswomiharjo yang gugur pada peristiwa G30S/PKI.
Baca juga:
Karyawati Diperkosa & Dibunuh: 31 Adegan, Pelaku Sempat Bercumbu
Pembunuhan Karyawati, Tersangka Pernah Belajar di Pesantren
Pelaksanaan simposium itu memantik protes dari kelompok masyarakat yang selama ini getol menyuarakan bahaya bangkitnya komunisme. Massa yang tergabung dalam Front Pancasila berunjuk rasa di depan Hotel Aryaduta, ketika simposium itu dibuka.
Di antara mereka mengadakan acara tandingan, yaitu Silaturahmi Purnawirawan TNI/Polri, Ormas Keagamaan dan Kepemudaan di Balai Kartini, Jakarta, gedung milik yayasan yang berafiliasi dengan TNI Angkatan Darat.
Di Jakarta dan beberapa kota lain di Jawa, tentara serta polisi bergerak menyisir berbagai tempat umum dan tempat usaha. Mereka mencari-cari atribut mirip palu-arit, merazia buku yang mempromosikan komunisme, serta menangkapi pemilik dan penyimpan barang tersebut.
Peristiwa itu, mengingatkan kejadian setengah abad lalu. Setelah gagalnya Gerakan 30 September 1965, tentara menangkap pimpinan dan aktivis Partai Komunis Indonesia (PKI) di berbagai daerah.
Beberapa kelompok Islam ikut ambil bagian. Mereka marah karena sebelumnya aktivis PKI membunuh kiai dan santri di berbagai daerah. Banjir darah terjadi dimana-mana.
Setahun setelah tragedi itu, yakni 6 September 1966, Presiden Soekarno berpidato dihadapan delegasi Angkatan 45 yang datang ke Istana Merdeka.
Bung Karno menjelaskan bahwa dirinya menganjurkan Nasakom (nasionalis, agama dan komunis) karena ini adalah bagian dari objective realiteiten. Karena penjajahan, objective tidak boleh tidak timbul rasa nasionalisme hebat.
"Karena sociale verhoudingen, sociaal economische verhoudingen (keadaan sosial, keadaan sosial ekonomi) jelek. Bangsa kita ditindas ekonomis juga," katanya.
Mulai dari rumah gubuk, makan cuma satu kali satu hari, dan hidup hanya dengan sebenggol seorang sehari. Tidak boleh tidak, kata Soekarno, meskipun tidak ada Muso, tidak ada Alimin, tidak ada Aidit, tidak ada Nyoto, tidak ada seorang pun yang memimpin mereka, aliran sosialisme atau komunisme atau marxisme, pasti-pasti-pasti-pasti-pasti timbul.
Bung Karno lantas bertanya, dimana tempatnya komunisme lahir? Di mana tempatnya marxisme lahir? Di mana tempatnya sosialisme lahir? Apakah di gedung-gedung swasta di Kebayoran?
"Lahirnya itu di sini, di kampung-kampung yang gubuk-gubuknya bocor. Lahirnya itu di tempat-tempat dimana ibu-ibu tidak bisa memberi air susu cukup kepada anak-anaknya. Di mana anaknya itu telanjang, ngesot di tanah, karena tidak punya pakaian. Di situlah tempat lahirnya sosialisme atau marxisme atau komunisme. Kalau ingin menghilangkan komunisme, hilangkan ini gubuk-gubuk, ganti dengan rumah-rumah yang baik. Beri makan yang banyak, sandang-pangan yang cukup," katanya.
Pendek kata, ujar Bung Karno, kalau sociaal economische verhoudingen kita baik, tidak bisa komunisme tumbuh. "Tidak dengan cara menggorok orang-orang yang dinamakan komunis."
Soekarno mengatakan, sesudah di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, ratusan orang digorok karena dituduh komunisme. "Jalannya untuk menghilangkan komunisme ialah perbaiki sociaal economische verhoudingen ini."
UWD
Baca juga:
Karyawati Diperkosa & Dibunuh: 31 Adegan, Pelaku Sempat Bercumbu
Pembunuhan Karyawati, Tersangka Pernah Belajar di Pesantren