Pegunungan Kendeng Seharusnya Lumbung Padi, Bukan Tambang
Editor
Clara Maria Tjandra Dewi H.
Senin, 16 Mei 2016 23:00 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Lir-ilir, lir-ilir tandure wes sumilir, tak ijo royo-royo...
Wajah Gunarti, perempuan 40 tahun itu, tampak meneteskan air mata ketika menyanyikan tembang ciptaan Sunan Kalijaga tersebut. Di depan kantor Kedutaan besar Jerman di Jalan MH Thamrin, Senin 16 Mei 2016, ia bersama 30 warga Pegunungan Kendeng bersuara, berpuisi, dan bernyanyi menolak pembangunan pabrik semen di tanah leluhur mereka.
Tokoh Sedulur Sikep ini, bersama kakaknya, Gunretno, yang juga Koordinator Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng, membawa sepuluh bakul berisi hasil bumi. Padi, singkong, tanaman tebu, ubi, pepaya muda, sampai terong sengaja dibawa bersama beberapa kendi berisi air. "Kami semua tidak rela memberikan tanah Ibu Bumi hanya untuk tambang," kata Gunarti.
Mayoritas penduduk Pegunungan Kendeng yang tersebar di tiga kecamatan, kata dia, bekerja sebagai petani. Menurut Gunarti, permintaan warga lewat aksi turun ke jalan itu sederhana. "Seharusnya pemerintah itu juga kalau ada apa-apa rembug dulu sama warga. Bukan main seruduk saja," kata dia.
Gunarti berujar, semenjak kabar Pegunungan Kendeng hendak dikepras untuk area tambang semen, warga menjadi resah. Kehidupan keluarga satu atap pun menjadi tidak tentram. Sebabnya, banyak pro-kontra masuk ke dalam hubungan keluarga. Wacana pembangunan pabrik semen membuat hubungan sosialisasi masyarakat menjadi rusak.
Pada 2009, Gunarti bercerita, PT Semen Gresik yang sempat berekspansi di Kecamatan Sokolilo, Pati, Jawa Tengah akhirnya mundur. Banyak perdebatan memecah belah warga dengan pro-kontranya. Bahkan, ketika perusahaan itu mundur pun, warga masih banyak bersikap pro-kontra. "Kalau begini siapa yang bertanggung jawab," ucapnya.
Belakangan, PT Sahabat Mulia Sakti, anak perusahaan PT Indocement Tunggal Prakarsa berekspansi di Kabupaten Pati, di Kecamatan Payen dan Tambakromo. Wilayah ini diketahui sebagai sumber mata air untuk kebutuhan sehari-hari termasuk pertanian. Perusahaan milik Jerman Heidelberg Cement AG yang dipegang oleh Birchwood Omnia LTD, berdasarkan keterangan JMPPK, memegang saham PT Indocement Tunggal Prakarsa sebesar 51 persen. Itulah sebabnya warga Kendeng beraudiensi dengan pihak Kedutaan Besar Jerman.
Datang bersama 30 warga lain, Paini dipilih sebagai perwakilan warga bersama Gunretno untuk beraudiensi dengan pihak kedutaan. Pembicaraan sekitar 30 menit tersebut, meyakinkan warga Kendeng bahwa pemerintah Jerman pun tidak menyetujui kegiatan apapun termasuk bisnis yang merusak lingkungan.
Gunretno mengatakan pihak kedutaan akan meninjau langsung lahan milik warga yang diincar untuk pabrik semen. "Mereka mau datang langsung dan akan senang kalau diundang langsung oleh masyarakat Kendeng," kata dia.
Curahan hati Giyem dan Sarman sama. Menurut Giyem, pegunungan Kendeng adalah pegunungan yang paling makmur di dunia ini karena kekayaan pangan yang melimpah. Kalau dijadikan lahan tambang, kata dia, warga akan kebingungan mencari tempat tinggal. "Harusnya malah dijadikan lumbung padi, bukan tambang," kata Giyem yang bersama ibu-ibu lainnya mengenakan jarik menggendong bakul.
Sarman punya kisah berbeda. Kerap bertani, Sarman mengaku mendapatkan air bersih dengan cukup muda dan melimpah sebelum penambang datang. Namun, setelah banyak pendatang, mendapatkan air harus menggunakan mesin. "Mung banyu, ndadak nganggo mesin, dawuh-dawuh mesine mati, gak dibenake," kata Sarman yang mengaku tidak bisa berbahasa Indonesia.
Gunarti berujar saat ini warga Kendeng sedang mengajukan gugatan dua perusahaan di Pengadilan Tata Usaha Negara di Surabaya. "Saya hanya tidak ingin ada perpecahan di tengah warga. Warga saat ini resah hanya karena pabrik semen," ujar Gunarti.
ARKHELAUS WISNU