Kisah Ibu Rumah Aman Pendamping Korban Kekerasan Seksual
Editor
Sunu Dyantoro
Selasa, 3 Mei 2016 05:39 WIB
TEMPO.CO, Yogyakarta - Seorang pendamping yang menemani korban kekerasan seksual kerap mengalami intimidasi. Orang mengenalnya sebagai ibu shelter atau ibu rumah aman. Perempuan ini telah bekerja menemani korban kekerasan seksual selama 18 tahun. Ia mengurus makan korban, menenangkan korban selama berada di shelter, dan mengantar ke rumah sakit ketika korban melahirkan.
Baca juga:
Ahok Buka Rahasia Mundurnya Rustam Effendi, Ternyata...
PDIP Siapkan Risma Tantang Ahok, Ada yang Menghindar?
Setahun, ia rata-rata menangani empat hingga lima korban. Mereka rata-rata merupakan korban perkosaan, yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas. Mereka mengalami depresi yang berat. Mereka tidak mau makan, murung, menyalahkan diri sendiri, takut, dan ada yang ingin bunuh diri.
Sang pendamping lantas berusaha menenangkan mereka dan membuat korban merasa nyaman. "Saya bisa posisikan korban sebagai adik, kakak, dan anak. Intinya membuat mereka aman dan percaya," kata perempuan itu, Senin, 2 Mei 2016.
Shelter yang digunakan korban kekerasan seksual dirahasiakan tempatnya demi keamanan korban. Sebab, pelaku kerap mengancam dengan mendatangi korban, membujuk, dan mengintimidasi pendamping. Sekitar tahun 2000-an, satu shelter tempat menampung korban kekerasan seksual dilempari telur oleh pelaku. "Semarah apapun pelaku, saya berusaha mengajak ngobrol baik-baik," kata pendamping itu.
Baca juga:
Gaduh Ahok Vs Yusril: Soal Sampah hingga Sekongkol Rustam
Sandera Abu Sayyaf Tiba di Indonesia: Ini Kisah Pembebasannya
Selanjutnya: Ia merupakan...
<!--more-->
Ia merupakan pendamping yang pernah mendapatkan kekerasan oleh suaminya ketika ia hamil. Perempuan itu dipukuli ketika hamil. Suaminya berselingkuh dan sang pendamping memutuskan untuk bercerai. Sembari membesarkan anaknya secara tunggal, ia lalu menjadi pendamping korban kekerasan seksual. Bagi dia, pekerjaan itu panggilan jiwa. Ia selalu menekankan kepada korban bahwa korban punya masa depan dan bisa menjalani hidup.
Konselor Psikologis dan Manajer Divisi Pendampingan Rifka Annisa, lembaga perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan, Indiah Wahyu Andari mengatakan Rifka Annisa menyiapkan shelter khusus yang sifatnya tertutup atau lokasinya dirahasiakan. Bahkan keluarga korban pun tidak tahu.
Menjaga kerahasiaan shelter penting karena berkaitan dengan keamanan korban, pendamping, dan konselor. Ada banyak ancaman yang datang dari pelaku kekerasan. "Misalnya konselor dibuntuti ketika di jalan dan dicatat nomor pelat sepeda motornya," Indiah.
Menurut dia, shelter disiapkan untuk menampung korban selama dua pekan. Shelter fungsinya sebagai rumah aman untuk memulihkan kondisi psikologi korban yang terguncang setelah mengalami serangkain kekerasan. Mereka merupakan korban kekerasan yang tidak diterima keluarga, lingkungan masyarakat, dan merasa terancam.
Data Rifka Annisa menunjukkan di Daerah Istimewa Yogyakarta setiap tahun terdapat 300 kasus kekerasan terhadap perempuan. Itu berarti setiap satu hari setidaknya satu perempuan menjadi korban kekerasan.
Rifka menghimpun ada 2.156 kasus kekerasan yang Rifka tangani pada 2009-2015. Terdiri dari 1.541 kasus kekerasan terhadap isteri, 227 kasus perkosaan, 128 pelecehan seksual, 206 kekerasan dalam pacaran, 48 kekerasan dalam keluarga, empat kasus perdagangan manusia, dan dua kasus kekerasan lainnya.
SHINTA MAHARANI
Baca juga:
Ahok Buka Rahasia Mundurnya Rustam Effendi, Ternyata...
PDIP Siapkan Risma Tantang Ahok, Ada yang Menghindar?