Reshuffle, Politikus PDIP: Tunggu Jokowi dari Eropa
Editor
Zed abidien
Rabu, 20 April 2016 15:34 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Politikus PDI Perjuangan, Eva Kusuma Sundari, mengatakan Presiden Joko Widodo kemungkinan akan mengumumkan reshuffle Kabinet Kerja setelah pulang dari kunjungan kerja ke Eropa pada 18-22 April 2016. Namun Eva enggan mengatakan tanggal kepastiannya.
"Insya Allah," kata Eva saat ditemui seusai mengisi acara sosialisasi empat pilar kebangsaan dalam memperingati Hari Kartini di DPD PDI Perjuangan Jawa Timur, Rabu, 20 April 2016.
Sambil berkelakar, Eva mengatakan sebetulnya Jokowi adalah Presiden yang cerdas. Jokowi seolah-olah membiarkan wacana reshuffle menjadi wacana publik.
"Iya, Presiden itu pintar kok. Di Indonesia semua eker-ekeran soal menteri tapi dibiarkan, malah ditinggal ke luar negeri," katanya.
Menurut pengamat politik dari Universitas Airlangga, Hari Fitrianto, menteri-menteri yang bukan dari partai politik atau profesional bakal terkena reshuffle. Dia beralasan jabatan menteri yang sebelumnya dijabat oleh orang-orang profesional akan diberikan kepada orang-orang dari partai politik yang baru saja bergabung dengan koalisi.
"Kalau menteri dari profesional yang dicopot, kursi pasti akan diberikan kepada orang partai yang baru saja bergabung koalisi," ujarnya.
Jokowi sendiri, menurut Hari, sangat kesulitan untuk menentukan komposisi menteri yang bagus dan cocok dengan visi dan misinya. Para elite partai politik dalam koalisi PDIP selalu berusaha mempengaruhi Jokowi dalam menentukan komposisi menteri.
"Karena elite parpol koalisinya pasti ingin kader-kadernya menjadi menteri di pemerintahan, jadi Jokowi harus mengakomodasi semuanya," katanya.
Menurut Hari, Jokowi juga dianggap kesulitan untuk mengganti menteri-menteri yang tergolong elite parpol senior. Orang-orang seperti Tjahjo Kumolo, Puan Maharani, Yasonna Laoly, yang merupakan elite partai senior partai, bakal sulit digeser oleh Jokowi.
"Ini karena para senior itu mempunyai 'kekuatan' di internal partai sehingga Jokowi harus memikirkan risiko politik ketika mengganti mereka," katanya.
EDWIN FAJERIAL