Empu Daliman menggosok keris menggunakan potongan jeruk untuk menghilangkan karat, 28 Oktober 2015. Keris tersebut merupakan salah satu koleksi Museum Radyapustaka. TEMPO/Ahmad Rafiq
TEMPO.CO, Surakarta - Pintu masuk Museum Radyapustaka tertutup rapat, Jumat 15 April 2016. Demikian juga dengan pintu jeruji besi yang mengelilingi bangunan museum tertua di Indonesia itu.
Tidak ada petugas yang duduk di ruang loket penjualan karcis. Padahal, tidak ada secarik tulisan yang menerangkan bahwa museum sedang libur. Beberapa pengunjung yang terlanjur datang memilih untuk meninggalkan tempat itu.
Padahal, sebenarnya ada beberapa karyawan yang ada di dalam museum. Mereka sempat keluar membawa kemoceng, membersihkan arca batu yang berada di sisi timur museum. Namun, mereka kembali masuk saat mengetahui ada wartawan datang. Selanjutnya, museum kembali sunyi.
Saat ini, Museum Radyapustaka memang tengah dililit masalah keuangan. Anggaran yang biasanya diterima dari pemerintah belum kunjung cair sejak awal tahun. Karyawan bekerja tanpa menerima gaji hingga empat bulan berturut-turut.
Uang tiket yang tidak seberapa juga tidak cukup untuk menutup beaya operasional, termasuk membayar listrik. "Bulan depan kami sudah tidak mampu membayar rekening listrik," kata anggota Komite Museum Radyapustaka, Wiyono.
Padahal, museum itu menyimpan ribuan benda bersejarah yang tidak ternilai. Pengamanannya mengandalkan CCTV yang hanya bisa aktif jika listrik mengalir.
Penyejuk ruang yang terpasang, terutama di perpustakaan, bukan untuk bermewah-mewah. Alat tersebut harus menyala 24 jam agar ribuan buku kuno yang ada di dalamnya tidak lembab dan berjamur. Penyejuk ruang itu juga perlu listrik.
Wiyono mengaku, komite museum sebenarnya berharap karyawan kembali bekerja seperti biasanya. "Tapi kami tidak bisa memaksa. Kenyataannya kami belum mampu membayar gaji mereka," katanya. Sebagai catatan, museum tersebut tutup sejak Rabu kemarin.
Salah satu pengunjung, Iantono, mengaku kecewa dengan tutupnya museum tersebut. Mahasiswa itu jauh-jauh datang dari Malang. "Mencari buku untuk bahan penelitian," kata mahasiswa salah satu universitas di Malang itu.
Akhirnya, dia memilih untuk mengunjungi perpustakaan di Monumen Pers. "Mudah-mudahan di sana ada," katanya. Meski demikian, dia berharap museum segera buka agar penelitiannya bisa segera diselesaikan.
Museum yang terletak di Sriwedari itu seakan tidak lepas dari polemik. Sekitar delapan tahun silam, museum itu menjadi perbincangan saat beberapa koleksi berupa arca hilang.
Sedangkan beberapa tahun belakangan, lahan Sriwedari menjadi lahan sengketa antara pemerintah dengan sekelompok keluarga yang mengaku sebagai ahli waris Sriwedari. Radyapustaka berada di atas lahan tersebut.