TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid mengatakan pemerintah tetap akan menyurati perusahaan produksi Red Bull. Isinya, pemerintah meminta perusahaan tersebut bertanggung jawab karena telah mengambil gambar dan menayangkan iklan produknya yang berlokasi di Candi Borobudur.
Berbeda dengan video lain yang berlokasi sama, Red Bull merancang iklan dengan menampilkan seorang atlet olahraga parkour sedang loncat dan lari di atas cagar budaya tersebut. "Kerusakan sudah terjadi, kami tetap akan minta mereka tanggung jawab," kata Hilmar di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Rabu, 13 April 2016.
Menurut dia, iklan yang diluncurkan pada 17 Maret lalu tersebut akan memunculkan anggapan bahwa atraksi serupa di Candi Borobudur merupakan hal yang wajar. "Takutnya semua orang mengikuti iklan itu, lalu melakukan atraksi di Borobudur. Kan gawat," tuturnya.
Hilmar mengatakan tak ada permintaan izin dari Red Bull untuk pengambilan gambar iklan itu kepada pemerintah. Hal ini karena seluruh permintaan izin kepentingan komersial di cagar budaya harus melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Red Bull sendiri, menurut Hilmar, sudah menyampaikan permintaan maaf kepada pemerintah atas iklan yang sudah tayang tersebut. Salah satunya melalui penghapusan dan penurunan iklan berdurasi 1 menit 23 detik tersebut dari laman resmi Red Bull. Namun, menurut Hilmar, permintaan maaf tersebut belum cukup karena masih ada dampak di masyarakat. "Mereka harus melunasi tanggung jawab," ucapnya.
Koordinator Masyarakat Advokasi Warisan Budaya (Madya), Jhohannes Marbun, meminta pemerintah menempuh jalur hukum untuk menagih tanggung jawab Red Bull. Menurut dia, Pasal 92 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya secara tegas melarang kegiatan dokumentasi cagar budaya untuk kepentingan komersial tanpa seizin pemilik dan/atau yang menguasainya. Pelanggaran terhadap pasal tersebut, menurut Jhohannes, terkena ancaman pidana penjara 5 tahun dan denda Rp 500 juta.
"Candi Borobudur adalah warisan dunia yang terdaftar dalam UNESCO pada 1991," ujar Jhohannes. "Sudah selayaknya pemerintah Indonesia dan UNESCO menyikapi kasus ini dengan menempuh jalur hukum. Pembuatan iklan komersial minuman itu merupakan tindakan yang dilakukan secara sengaja."