TEMPO.CO, Jakarta - Duta Besar Denmark di Indonesia, Casper Kylnge, tidak pernah menduga bahwa negaranya ditetapkan Transparency International sebagai negara yang bebas dari korupsi.
"Saya pun sebenarnya tidak tahu kenapa kami yang nomor satu," ujar Casper dalam acara diskusi "Demokrasi dan Korupsi" yang digelar Transparency International Indonesia di Jakarta, Selasa, 15 Maret 2016.
Casper menduga negaranya memperoleh peringkat pertama dalam daftar negara paling bersih dari korupsi karena semangat antikorupsi sudah lama diterapkan di Denmark. Ia menyebutkan semangat antikorupsi sebagai hal yang mainstream di Denmark.
Ia mencontohkan, tiap lembaga pemerintah memiliki unit pemberantasan korupsi sendiri. Dilengkapi layanan hotline, unit itu siap menerima dan menindaklanjuti laporan dugaan korupsi apa pun, tanpa mekanisme birokrasi yang rumit.
"Jadi, kalau ada private sector yang mengaku hendak diajak korupsi oleh lembaga pemerintah, mereka bisa melapor ke unit tersebut," ujar Casper.
Contoh lain, setiap pejabat negara sudah lebih dulu mendapat pelatihan antikorupsi sebelum mengisi jabatannya. Dengan begitu, mereka mendapat gambaran jelas soal antikorupsi.
"Intinya, kami menyebarluaskan semangat antikorupsi dalam berbagai bentuk, di mana pun itu, karena kami zero tolerance terhadap korupsi," tuturnya.
Denmark menduduki peringkat pertama negara paling bersih dari korupsi dalam indeks persepsi korupsi yang dikeluarkan Transparency International. Denmark memperoleh skor 91 dalam skala 100 (0-100, korup-tidak korup). Selama bertahun-tahun, Denmark selalu memperoleh skor di atas 90.
Rasanya tidak ada partai politik di Indonesia yang secara resmi memerintahkan kadernya untuk melakukan tindak pidana korupsi yang kemudian harus disetor ke partainya. Yang ada, partai tutup mata atas sumbangan kadernya, seberapa pun besarnya. Partai pada umumnya juga tidak pernah mempertanyakan asal-usul kontribusi dari kadernya. Konon, partai tidak boleh berburuk sangka terhadap kadernya sendiri, kendati jumlah dana yang disetor tidak masuk akal. Biasanya, kader yang banyak memberi dana untuk partai akan mendapat "reward", misalnya akan mendapat prioritas kalau ada lowongan jabatan di kelengkapan DPR, masuk panitia khusus yang menarik, jabatan di internal partai, atau nomor bagus calon anggota legislatif dalam pemilihan umum.
Lagi, Kementerian Dalam Negeri melempar wacana kenaikan bantuan keuangan untuk partai politik. Akankah gagasan ini menjadi langkah yang tepat untuk pembenahan partai?
Setahun lalu, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo pernah mengusulkan hal yang sama, yakni menaikkan bantuan keuangan partai sebesar Rp 1 triliun untuk semua partai yang memiliki kursi di DPR. Belum sempat direalisasi, usul tersebut kandas akibat penolakan masyarakat.