Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata. TEMPO/Eko Siswono Toyudho
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Alexander Marwata kembali menjelaskan alasan kenapa revisi Undang-Undang tentang KPK banyak ditentang. "Karena melemahkan, bukan menguatkan," katanya dalam diskusi di Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta, Senin, 7 Maret 2016. Diskusi diikuti mahasiswa dan sejumlah undangan.
Menurut Marwata, esensi draf revisi Undang-Undang KPK yang disodorkan Dewan Perwakilan Rakyat cenderung melemahkan lembaga antirasuah itu. Pertama tentang pengangkatan dewan pengawas. Adanya dewan pengawas yang ikut terlibat kegiatan operasional kegiatan KPK dianggap tidak efektif. Sebab bisa memperpanjang birokrasi yang membuat kinerja KPK terhambat.
Kedua, penyelidik dan penyidik berasal dari kejaksaan dan polisi. "Korupsi itu delik khusus yang menyangkut keuangan. Butuh orang yang ahli," kata dia. Menurut Alex, KPK membutuhkan tenaga ahli yang memiliki kompetensi di bidang-bidang tertentu.
Selanjutnya, masalah pemberian surat perintah penghentian penyidikan (SP3) atau penghentian perkara. Tak adanya kewenangan untuk menghentikan perkara adalah semangat bagi KPK untuk berhati-hati dalam melakukan penyelidikan. Adanya kewenangan tersebut ditakutkan KPK jadi tak hati-hati lagi.
"Jika memang ada kondisi yang diharuskan untuk menghentikan, misalnya tersangka sakit keras. Bisa saja dengan cara lain, yaitu dilimpahkan ke kejaksaan, nanti kejaksaan yang mengeluarkan SP3," ujarnya.
Terakhir mengenai penyadapan. Pelarangan penyadapan, kata Marwata, tentu saja menghambat kinerja KPK. Seharusnya, KPK diberi kewenangan melakukan tindakan-tindakan yang masih berhubungan dengan pekerjaannya.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Atma Jaya, Surya Chandra, mengatakan revisi Undang-Undang KPK bisa menjadi peringatan untuk menggerakkan masyarakat. Menurut dia, masyarakat perlu diajak serta untuk menentukan arah kebijakan KPK "Masalah korupsi merupakan isu rakyat, bukan hanya kalangan elite saja," katanya.
Revisi UU tentang KPK yang menjadi usul inisiatif DPR ditentang banyak kalangan. Selain KPK sendiri, mereka yang menolak adalah komunitas guru besar dari berbagai perguruan tinggi. Mereka bahkan meminta langsung ke Presiden Joko Widodo untuk membatalkan revisi tersebut.