Terduga Teroris Pujianto Ingin Mati Syahid di Suriah
Editor
Grace gandhi
Rabu, 2 Maret 2016 07:23 WIB
TEMPO.CO, Malang - Pujianto alias Raider Bakiyah sering mengungkapkan keinginannya mati syahid alias menjadi syuhada dengan berjihad di Suriah.
Keinginan tersebut sering disampaikan pria berusia 35 tahun itu kepada teman baiknya, Mohamad Lutfi, sebelum ia ditangkap Detasemen Khusus Antiteror alias Densus 88 di Stasiun Kroya, Kelurahan Bajingwetan, Kecamatan Kroya, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, pada Senin dinihari, 29 Februari 2016.
Mohamad Lutfi menyatakan berteman dengan Pujianto sekitar lima tahun. Seingat Lutfi, Pujianto menolak diajak mengikuti pengajian-pengajian biasa. Ia baru bersemangat mengikuti pengajian yang bertema jihad. Selama bergaul, Pujianto sering menceritakan keinginannya berperang di jalan Allah.
Pertemuan terakhir dua sekawan itu terjadi sekitar dua-tiga bulan lalu. Pujianto menginap seminggu di rumah Lutfi. Kebiasaan menginap ini sering dilakukan Pujianto tiap kali pulang dari Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Di sana, ia berdagang dan pulang ke Malang untuk mengumpulkan bermacam barang dagangan untuk dijual kembali di Sumbawa dan sekitarnya.
“Di pertemuan terakhir, ia sempat bilang dirinya sekarang sudah jadi teroris, dan ia mau ke Malaysia. Bolak-balik ia bilang kepingin mati membela agama Allah, dan kalau bisa matinya mati syahid di medan perang Suriah,” kata Mohamad Lutfi kepada Tempo pada Selasa sore, 1 Maret 2016.
Lutfi ditemani adik kandungnya, M. Isharul Latif. Dua bersaudara itu ditemui di rumah mereka di Jalan Pesantren RT 009 RW 008, Kelurahan Turen, Kecamatan Turen, Kabupaten Malang.
Sebenarnya, menurut Lutfi, ia dan ketujuh saudaranya sudah keberatan bila Pujianto menginap berlama-lama. Selain itu, dari hati kecilnya pun dia sudah tidak senang lagi pada Pujianto karena pemahamannya tentang jihad bertentangan dengan keyakinan Lutfi.
Namun Lutfi tetap merasa tidak enak hati. Ia pernah mengusir Pujianto, tapi ia malah dibentak-bentak dan diancam akan ditembak atau disembelih. Pujianto sendiri sering mencandai Lutfi dengan memeragakan cara orang menyembelih leher sambil mengarahkan jari telunjuk ke arah Lutfi.
Kedua teman itu bertengkar empat hari sebelum Pujianto pergi meninggalkan rumah Lutfi. Pertengkaran dipicu oleh tidak dikembalikannya kartu tanda penduduk (KTP) asli milik Lutfi yang dipinjam Pujianto untuk masuk dan mencari kerja di Bali dan Sumbawa. Pujianto malah menyuruh Lutfi menggunakan fotokopi KTP.
Selain itu, Lutfi dan saudara-saudaranya memang sudah tidak nyaman lagi bila Pujianto menginap. Lutfi sendiri mulai tidak menyukai Pujianto setelah sang teman menikah tiga kali.
Sejujurnya, Lutfi takut Pujianto akan melakukan guyonan menyembelih atau menembak dirinya. Ketakutan ini sampai terbawa ke dalam mimpi. Saking takutnya, sekitar dua bulan lalu, Lutfi melapor ke Markas Kepolisian Sektor Turen untuk meminta perlindungan.
“Waktu lapor ke polisi, saya sampai nangis betulan, dan saya jadi sesak napas,” kata Lutfi, lajang berusia 40 tahun.
Nama Mohamad Lutfi ikut terseret dalam kasus Pujianto lantaran aparat Densus 88 menemukan KTP asli miliknya di antara sejumlah barang bukti. Selain KTP Lutfi, polisi menemukan KTP atas nama Wiwik Yuliati, 30 tahun, warga Sumber Ngepoh RT 01 RW 06, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang. Wiwik adalah istri kedua Pujianto yang meninggal dua tahun silam.
Pujianto ditangkap Densus 88 bersama Panji Kokoh Kusumo alias Latif alias Gajah alias Fahri, 37 tahun, warga Kampung Karangrejo RT 02 RW 02, Kelurahan Karangrejo, Kabupaten Magetan, Jawa Timur.
Pada hari penangkapan Pujianto dan Panji, sebanyak 10 personel Densus 88 menangkap dua pria yang masing-masing berinisial Kw, 43 tahun, dan S, mahasiswa berusia 25 tahun, di Kompleks Permakaman Setyo Setuhu, Dusun Keramat, Desa Patokpicis, Kecamatan Wajak, Kabupaten Malang.
Kw berasal dari Kelurahan Manisrejo, Kecamatan Taman, Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Sedangkan S beralamat di Jalan Batuaraya, Kelurahan Paropo, Makassar, Sulawesi Selatan.
ABDI PURMONO