TEMPO Interaktif, Semarang:Selama tiga bulan terakhir, sedikitnya 5.413 buruh di Jawa Tengah terkena PHK (pemutusan hubungan kerja). Mereka tersebar di sejumlah kabupaten dan kota dari 15 perusahaan swasta dan satu instansi pemerintah. Lembaga Bantuan Hukum Semarang mencatat, dari jumlah itu hanya 297 buruh yang menerima pesangon. “Fakta itu sangat memprihatinkan. Sebanyak 5.116 buruh kehilangan pekerjaan dan sama sekali tidak menerima pesangon," jelas Tassy Denny Septiviant, Kepala Divisi Perburuhan LBH Semarang, kepada Tempo News Room di Semarang, Kamis (11/4). Tafsiran Tassy, para pengusaha masih melihat buruh sebagai tenaga kerja yang mudah diperas untuk meraup keuntungan berlimpah. Sebaliknya, hak-hak normatif pekerja tidak dipenuhi. Ia juga menyorot rendahnya upah buruh. Para pengusaha di Jawa Tengah terus berusaha menghindari pembayaran upah minimum dengan modus yang hampir serupa. Salah satunya, perusahaan berpura-pura mengurangi produksi. Selain itu menyiasati dengan rasionalisasi pekerja, merumahkan dan mengeluarkan PHK. “Akal-akalam itulah yang memicu buruh unjuk rasa,” ujarnya. Selama tiga bulan terakhir itu pula, sejak Januari hingga Maret, telah terjadi 23 unjuk rasa di Jawa Tengah yang melibatkan 8.000 lebih buruh. Tuntutan tertinggi mereka masih soal upah yang rendah, penolakan PHK dan menolak pesangon yang tidak sesuai. Dari jumlah itu, Semarang paling banyak dilanda demonstrasi buruh, sebanyak 12 kali, lalu Solo tiga kali, dan Kudus dua kali. Selebihnya, unjuk rasa terjadi di Demak, Pati, Jepara, Brebes, Karanganyar dan Boyolali. Tassy juga mencatat enam buruh berusaha melakukan perlawanan dengan aksi mogok kerja, yang berakhir dengan penahanan. Peristiwa itu terjadi di PT Wira Petro Plastindo Semarang. Pihak perusahaan melaporkan pada Kepolisian Kota Besar Semarang. Mereka dituduh melanggar pasal 335 (1) huruf 1e, 2e KUHP dengan dakwaan melakukan perbuatan tidak menyenangkan. (Ecep S. Yasa)