Pekerja mengawasi pengoperasian mesin di Kilang Minyak PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) di Tuban, Jawa Timur, 11 November 2015. Pertamina menyebutkan pengoperasian kembali kilang minyak TPPI tersebut dapat menghemat devisa sebesar 2,2 miliar Dolar AS setahun karena mampu mengurangi impor BBM dan LPG. ANTARA/Widodo S. Jusuf
TEMPO.CO, Jakarta - Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri belum berencana untuk menahan tersangka lain kasus dugaan korupsi penjualan kondensat BP Migas ke PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI). Saat ini Honggo Hendratmo, tersangka kasus tersebut sedang sakit di Singapura. "Masih dalam koordinasi," tutur Wakil Direktur Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Komisaris Besar Agung Setya kepada Tempo, Selasa, 23 Februari 2016.
Agung mengatakan saat ini kepolisian sedang koordinasi dengan Interpol di Singapura. Hingga kini belum ada jawaban dari pihak Singapura, termasuk kepastian apakah tersangka Honggo telah sembuh dan dapat dipulangkan ke Indonesia atau belum.
Agung menyebutkan masih berkoordinasi dengan pihak terkait di Singapura. Meski masih menunggu tersangka Honggo sembuh dari sakitnya, kepolisian memastikan kasus yang menjeratnya masih terus berjalan.
Kepolisian memeriksa Honggo pada Juli tahun lalu dengan alasan sakit. Honggo kemudian ditetapkan sebagai tersangka setelah dipastikan terlibat tindak pidana pencucian uang. Namun sayangnya dia mengalami sakit jantung sejak satu tahun terakhir.
Direktur Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Brigadir Jenderal Bambang Waskito menambahkan, penyidiknya telah melimpahkan berkas perkara ke kejaksaan. Sebanyak tiga berkas telah dilimpahkan tahap pertama, atau P-19. "Saat ini penyidik sedang melengkapi berkas, menunggu dari kejaksaan," ucapnya.
Ketiga berkas tersebut, di antaranya atas nama tersangka Honggo Hendratmo, Raden Priyono, dan Djoko Harsono. Kedua tersangka tersebut telah ditahan polisi.
Bambang menambahkan, penyidik Bareskrim membidik tersangka lain dalam kasus ini pasalnya masih ada tersangka lain selain ketiga orang tersebut. Apalagi kerugian negara yang diakibatkan atas tindak korupsi tersebut mencapai US$ 2,7 miliar.
Kasus ini bermula pada 2009. Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BP Migas)--pendahulu SKK Migas--menunjuk langsung TPPI dalam penjualan kondensat bagian negara. Tindakan ini dinilai melanggar keputusan BP Migas tentang pedoman penunjukan penjual minyak mentah.
Bareskrim menelusuri penyebab utama alasan PT TPPI sampai bisa menerima kontrak penjualan kondensat dari SKK Migas pada 2009. Padahal, kala itu TPPI tengah mengalami masalah keuangan. Ujungnya TPPI gagal membayar tunggakan hasil penjualan kondensat kepada SKK Migas yang diperkirakan merugikan negara ratusan juta dolar Amerika Serikat atau setara triliunan rupiah.