Kalah dalam Sengketa Sriwedari, Kado Pahit HUT Kota Solo
Editor
Muhammad Iqbal
Selasa, 16 Februari 2016 14:42 WIB
TEMPO.CO, Surakarta - Putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak peninjauan kembali pemerintah Surakarta atas sengketa lahan Sriwedari menjadi kado pahit hari ulang tahun Kota Surakarta pada 17 Februari 2016. Putusan MA pada 10 Februari 2016 itu memperkuat kedudukan ahli waris Wiryodiningrat atas lahan tersebut.
Mitra Museum Radyapustaka, Teguh Prihadi, mengatakan masyarakat sangat kecewa dengan putusan tersebut. "Ini menjadi kado pahit bagi hari jadi Kota Solo," katanya, Selasa, 16 Februari 2016. Sebab, putusan itu mengakibatkan lahan yang selama ini telah menjadi ruang publik itu harus dilepas pemerintah.
Tanah Sriwedari merupakan salah satu lahan yang berada di pusat kota. Di atas lahan tersebut terdapat sejumlah fasilitas publik, seperti Stadion Sriwedari, gedung wayang orang, serta Museum Radya Pustaka. Stadion Sriwedari juga dianggap sebagai stadion yang bersejarah lantaran digunakan sebagai penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional yang pertama.
Menurut Teguh, pemerintah harus tetap mempertahankan lahan tersebut. "Jika kalah dalam jalur hukum, harus ada jalur yang lain," katanya. Menurut dia, pemerintah belum melakukan upaya maksimal dalam mempertahankan lahan tersebut. "Mediasi yang dilakukan oleh pemerintah dengan ahli waris tidak membuahkan hasil," katanya.
Seharusnya, kata dia, pemerintah menyiapkan tim lobi yang andal untuk melakukan mediasi. Jika perlu, pemerintah harus melibatkan masyarakat dalam proses tersebut. "Sriwedari telah menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat di Surakarta," kata dia. Hal itu menjadi dasar bagi pemerintah dalam mempertahankan lahan tersebut. "Jika perlu, pemerintah bersama masyarakat membeli lahan tersebut," katanya.
Apalagi, beberapa bangunan yang ada di Sriwedari merupakan bangunan peninggalan kebudayaan, misalnya Museum Radyapustaka. "Ada juga stadion yang menjadi tempat pelaksanaan PON pertama," katanya. Nilai sejarah yang ada di atas lahan Sriwedari sangat tidak ternilai dan harus dipertahankan.
Dia juga meminta agar pengadilan tidak gegabah dalam melakukan eksekusi atas lahan itu. "Ini bukan hanya persoalan hukum," katanya. Pengadilan juga harus mempertimbangkan aspek sejarah, sosiologi, serta budaya.
Kuasa hukum ahli waris Wiryodiningrat, Anwar Rachman, mengatakan mereka telah berjuang selama 46 tahun untuk mendapatkan lahan tersebut. "Kami berjuang untuk lahan yang dikuasai oleh pemerintah tanpa hak selama bertahun-tahun," katanya.
Menurut dia, persoalan Sriwedari merupakan sengketa antara ahli waris dan pemerintah. "Masyarakat tidak menjadi pihak dalam sengketa ini," katanya. Dia berharap masyarakat tidak ikut ambil bagian dalam sengketa itu.
AHMAD RAFIQ