Hehamahua: Berbahaya, Dewan Pengawas KPK Ditunjuk Presiden
Editor
Maria Rita Hasugian
Sabtu, 6 Februari 2016 18:18 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Mantan anggota Dewan Penasihat Komisi Pemberantas Korupsi, Abdullah Hehamahua, mengatakan sangat berbahaya bila pembentukan Dewan Pengawas KPK ditunjuk oleh presiden. Sebab, itu sama artinya mencoreng independensi KPK.
Menurut Hehamahua, jika diperlukan, Dewan Pengawas KPK harus ditentukan lewat jalur internal melalui panitia seleksi KPK. "Saya merekomendasikan dalam disertasi saya dibentuk seperti halnya penasihat (lewat pansel)," katanya dalam diskusi “Senjakala KPK” di Cikini, Jakarta, Sabtu, 6 Januari 2016.
Politikus Partai Gerindra yang juga Ketua Badan Legislasi DPR, Supratman Andi Agtas, menambahkan, KPK merupakan lembaga independen. Bila dewan pengawas diangkat presiden, KPK tidak lagi independen. "Intinya, presiden enggak boleh terlibat di internal KPK," ujarnya.
Dalam draf revisi atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, tertulis pembentukan dewan pengawas oleh presiden. Menurut Abdullah, bila hal ini terjadi, presiden bisa menggunakannya untuk kepentingan politik. Sebab, dewan pengawas nantinya akan berhubungan dengan mekanisme penyadapan. "Kalau ada orang Istana yang dicurigai, nanti dilarang disadap," ujarnya.
Meski mengkritik soal dewan pengawas, Abdullah mengakui KPK memiliki kekurangan dalam pengawasan internal dan penasihat. Status pengawas internal yang masih direktorat tidak bisa langsung memeriksa pemimpin KPK. "Harus menunggu memo atau perintah dari deputi. Coba dinaikkan statusnya jadi deputi," katanya.
Begitu pula penasihat KPK, ia merekomendasikan nasihat yang dikeluarkan bersifat mengikat para pegawai. Sebab, selama ini, menurut undang-undang, penasihat hanya memberikan nasihat pertimbangan.
Pemerintah dan DPR berencana merevisi empat poin dalam UU KPK yang akan direvisi. Empat poin utama yang diubah terkait dengan penyadapan, yang diatur dalam Pasal 12A-12F; Dewan Pengawas, yang diatur dalam Pasal 37A-37F; penyelidik dan penyidik, yang diatur dalam Pasal 43, Pasal 43A, Pasal 43B, Pasal 45, Pasal 45A, dan Pasal 45B; serta wewenang KPK mengajukan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).
AHMAD FAIZ