Bertani, Eks Gafatar: Ahmad Mushadeq Sebut Ada Krisis Pangan
Editor
Muhammad Iqbal
Selasa, 2 Februari 2016 11:46 WIB
TEMPO.CO, Boyolali - Sebagian pengikut Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) yang ditampung di Asrama Haji Donohudan, Kabupaten Boyolali, menilai materi wawasan kebangsaan dan bela negara yang diajarkan anggota TNI masih sebatas konsep dan wacana.
“Kami justru sudah langsung mengaplikasikannya sejak dulu. Tapi sekarang kami justru seperti menjadi pihak yang salah,” kata Zainudin, 40 tahun, pengikut Gafatar asal Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, Selasa, 2 Februari 2016.
Zainudin menjadi anggota Gafatar sejak 2011. Hingga kini, Zainudin mengaku baru sekali bertemu dengan Ahmad Mushadeq saat acara pembinaan anggota Gafatar di Medan pada 2011. Dalam forum tersebut, Zainudin berujar, Mushadeq memaparkan tentang bahaya krisis pangan di masa depan.
“Dia (Mushadeq) tidak menakut-nakuti. Tapi justru membuka wawasan dan mengajak kami berpikir, ke depan mau apa,” ujar Zainudin. Dia menambahkan, para pengikut Gafatar saat itu juga mengucapkan janji rela berkorban harta dan jiwa untuk membangun bangsa.
Janji yang diikrarkan pada 2011 itu mulai direalisasikan pada 2014. Para pengikut Gafatar mulai aktif mensosialisasikan program ketahanan pangan mandiri yang akan dimulai di Kalimantan. “Banyak warga yang tertarik setelah melihat foto lokasi lahan yang akan kami garap,” kata Zainudin.
Menurut dia, para pengikut Gafatar bekerja keras di ladang sejak subuh hingga petang bukan karena ingin memperkaya diri sendiri. “Kalau cuma memikirkan kepentingan pribadi, para sarjana itu sudah nyaman di Jawa. Tapi mereka juga rela hidup di pelosok yang listriknya mengandalkan genset,” kata Zainudin menggambarkan kehidupannya selama tiga bulan di Desa Sukamaju, Kecamatan Muara Pawan, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.
Disinggung ihwal penemuan sejumlah dokumen yang menunjukkan rencana Gafatar membangun negara sendiri, Zainudin mengatakan Gafatar sudah bubar sejak Agustus 2015. “Pancasila menjadi ideologi dasar organisasi kami, bukan sekadar slogan. Meski Gafatar sudah bubar, kami masih melanjutkan misinya untuk mewujudkan ketahanan pangan mandiri,” kata Zainudin.
Dari pantauan Tempo saat pemberian materi bela negara di Asrama Haji Donohudan pada Kamis, pekan lalu, ratusan pengikut Gafatar tampak bersemangat menyanyikan lagu Indonesia Raya. Mereka juga berkali-kali menimpali pernyataan pemateri dengan kata “setuju” sambil mengepalkan tangan ke udara.
Namun, menurut dekan Fakultas Ushuluddin dan Humaniora Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, M. Mukhsin Jamil, para pengikut Gafatar itu sekadar ingin memuaskan si pemateri. “Tidak mudah mengubah keyakinan mereka. Sebab, Gafatar sesuai dengan pilihan intelektual dan ideologis mereka,” kata Mukhsin saat dihubungi Tempo.
DINDA LEO LISTY