Pengakuan Eks Gafatar Makassar yang Merantau di Kutai
Editor
MC Nieke Indrietta Baiduri
Sabtu, 30 Januari 2016 04:04 WIB
TEMPO.CO, Makassar -- Jalil, 28 tahun, alumnus teknik sipil Universitas Hasanuddin, akhirnya pulang ke Makassar, Rabu, 27 Januari. Selama lima bulan, Jalil yang merupakan eks pengikut Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) mengklaim sukses membangun pemukiman dan pertanian di Desa Karya Jaya, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur. Keahliannya sebagai arsitekur diterapkannya membangun daerah tersebut.
Selama lima bulan di Samboja, Jalil bersama 231 eks Gafatar Sulawesi Selatan telah menguasai 10 hektar lahan. Rinciannya, 1 hektar diperuntukkan pemukiman dan sisanya diperuntukkan pertanian.
"Di sana, kami membangun dan itu berjalan baik. Kami tanam sayur-sayuran, jagung dan singkong. Hasilnya kami nikmati sendiri dan biasa membagikannya ke warga setempat," kata Jalil, di Pelabuhan Soekarno-Hatta, Makassar, Rabu, 27 Januari.(Baca juga: Eks Anggota Gafatar Trauma Dituding Makar dan Sesat)
Rombongan eks pengikut Gafatar dari Samboja berkisar 232 orang dari 66 kepala keluarga. Mereka terdiri atas 137 laki-laki dan 95 perempuan. Rinciannya, 89 laki-laki dewasa, 48 anak laki-laki, 65 perempuan dewasa dan 30 anak perempuan. Mereka diantar oleh pejabat pemerintah Kalimantan Timur dan Kutai Kertanegara. Rombongan eks pengikut Gafatar lantas diserahkan ke pemerintah Sulawesi Selatan untuk dilakukan pembinaan.
Jalil yang merupakan koordinator lapangan eks Gafatar yang bermukim di Samboja, mengaku tertarik ke Kalimantan lantaran ingin mendukung program kedaulatan pangan. Itu adalah program Gafatar yang belakangan membubarkan diri pada Agustus 2015. Jalil yang mendesain pemukiman dan pertanian warga pendatang di Samboja, menyatakan tak ada unsur paksaan untuk ikut program kedaulatan pangan. "Semuanya sukarela," ujarnya. (Baca juga: Kenapa Gafatar Memilih Kalimantan, Ini Pengakuan Ketua Umum)
Jalil menuturkan, pemberitaan tentang aktivitas dan ajaran sesat Gafatar tidak betul dan malah menyesatkan. Ia membantah kabar bahwa pengikut Gafatar itu dilarang menunaikan ibadah salat dan puasa. Jalil menegaskan Gafatar bukan organisasi agama. Hal tersebut dibuktikan dengan berbaurnya latar belakang agama maupun profesi para anggotanya yang belakangan terpencar setelah bubar.
Jalil juga membantah pihaknya menentang pemerintahan ataupun negara. Malah, program kedaulatan pangan dijalankan guna mengatasi kemungkinan krisis pangan dalam dua tahun mendatang. Jalil menambahkan pihaknya juga tak pernah mempersulit pemerintah Kalimantan Timur. Sesaat usai pembakaran pemukiman Gafatar di Kalimantan Barat, Jalil mengaku pihaknya kooperatif terhadap keputusan pemerintah soal pemulangan mereka.
Yang disesalkan Jalil yakni stigma negatif masyarakat mengenai eks pengikut Gafatar dan programnya. Saat Gafatar getol melakukan bakti sosial maupun program positif lainnya, hanya 1-2 media yang mempublikasikannya. Belakangan, tatkala muncul kabar bahwa Gafatar adalah ormas sesat dan terlarang barulah media dan publik meributkannya. (Baca juga: Yenny Wahid: Pemerintah Wajib Lindungi Hak Anggota Gafatar)
Hal lain yang disayangkan eks Gafatar, Jalil mengaku tidak sempat panen besar atas hasil bumi yang telah ditanamnya. Rencananya, mereka akan panen besar pada bulan ketujuh terhitung Agustus lalu. Kerja keras mereka pun sirna dengan pemulangan ke daerah asalnya di Sulawesi Selatan. Toh begitu, Jalil mengaku dapat memahami mereka harus dipulangkan guna mengantisipasi konflik di Kalimantan Barat.
TRI YARI KURNIAWAN