TEMPO.CO, Mojokerto - Tudingan bahwa ormas Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) makar karena dituduh akan mendirikan negara telah menimbulkan trauma psikologis bagi para anggotanya. Selain itu, tudingan bahwa aliran agama yang mereka jalankan sesat juga menjadi stigma buruk.
“Mereka pindah ke Kalimantan secara mandiri dan tanpa paksaan. Tapi hidup mereka porak-poranda sejak MUI dan pemerintah menuduh mereka sesat tanpa putusan pengadilan,” kata Kordinator Jaringan Islam Anti Diskriminasi (JIAD) Jawa Timur, Aan Anshori, Rabu, 27 Januari 2016. (Baca juga: Risma Jamin Eks Anggota Gafatar Nyaman Kembali ke Kampung )
Ia juga menyesalkan aksi pembakaran yang terjadi di pemukiman anggota Gafatar di Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat. “Mereka kehilangan harta benda karena dibakar massa dan pelaku pembakaran juga tidak dihukum,” katanya.
Soal tudingan Gafatar makar, sebagaimana pernyataan Kapolri, menurut Aan, tudingan itu sepihak. “Supaya tidak ada fitnah, baiknya dibeber saja buktinya, biar publik yang menilai,” ujar kader muda Nahdlatul Ulama (NU), yang juga Kordinator Gusdurian Jawa Timur ini.
Bekas Ketua Umum DPP, Gafatar Mahful Muis Tumanurung, saat rilis di Jakarta, Selasa, 26 Januari 2016, membantah ormasnya punya agenda terselubung mendirikan negara. Bahkan Mahful siap diperiksa Mabes Polri. (Baca: Soal Fatwa Sesat, Mantan Ketua Umum Gafatar: Kami Tak Percaya MUI)
Trauma psikologis tampak dirasakan sejumlah eks anggota Gafatar asal Kabupaten Mojokerto yang sudah kembali ke Mojokerto. Contohnya Anton dan Sri Wanti, pasangan suami-istri asal Desa Jatikulon, Kecamatan Mojoanyar, Mojokerto. “Karena ada trauma psikologis, keduanya memilih tinggal bersama saudara mereka di Sidoarjo,” kata Kepala Bidang Perlindungan dan Jaminan Sosial Dinas Sosial Kabupaten Mojokerto Susi Sri Utami. (Baca juga: Ahok: Gafatar Bukan Teroris, Mereka Cinta Damai)
Bersama bayinya yang masih 1,5 tahun, keduanya dijemput dari tempat penampungan di UPT Panti Werdha “Mojopahit” Mojokerto dan diantar pulang ke Mojoanyar didampingi kepala desa dan camat setempat. “Dibawa ke kantor kecamatan dulu untuk mengurus administrasi. Setelah itu, mereka ke Sidoarjo,” kata Susi.
Sebelum pindah ke Kalimantan, Anton bekerja di Sidoarjo. “Di Sidoarjo ada saudara dan teman-teman kerjanya dulu yang siap menampung,” kata Susi. Anton enggan diwawancarai wartawan.
Di Mojokerto, sudah 33 orang eks anggota Gafatar yang dipulangkan dari Kalimantan Barat dalam dua tahap. Tahap pertama dipulangkan 23 orang dan tahap kedua sepuluh orang. Mereka berasal dari sejumlah kecamatan, antara lain Kecamatan Puri, Sooko, Mojoanyar, Mojosari, Pacet, dan Ngoro.
Pemerintah Kabupaten Mojokerto juga membantu pengurusan dan membuatkan data kependudukan serta dokumen penting eks anggota Gafatar yang hilang atau terbakar di Kalimantan, seperti kartu tanda penduduk (KTP), kartu keluarga (KK), ijazah, dan buku nikah. (Baca juga: Wahid Institute Minta MUI Buat Fatwa Melindungi Eks Anggota Gafatar)