Pedagang di Gunungkidul Jual Daging Sapi Campur Daging Babi
Editor
Muhammad Iqbal
Kamis, 28 Januari 2016 22:30 WIB
TEMPO.CO, Gunungkidul - Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi Gunungkidul menemukan tujuh pedagang di sejumlah pasar tradisional telah mengoplos daging sapi dengan daging babi. "Kami tahu positif setelah hasil uji laboratorium keluar, temuan sejak akhir Desember 2015 dan awal Januari 2016 lalu," ujar Kepala Seksi Perlindungan Konsumen Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi Gunungkidul Supriyadi Kamis 28 Januari 2016.
Supriyadi menuturkan, daging oplosan babi itu ditemukan pada tujuh orang pedagang yang tersebar di pasar Playen, Nglipar, Pakel Baron, Pasar Munggi Semanu, dan Pasar Semin. "Untuk pasar utama di Argosari Wonosari masih steril, tak ditemukan oplosan," ujar Supriyadi.
Dari penelusuran tim pemerintah baik Dinas Peternakan, Ketertiban, dan Perindustrian Perdagangan, pasokan daging babi itu berasal dari wilayah perbatasan Gunungkidul seperti Berbah Sleman dan Pleret Kabupaten Bantul. "Karena aksesnya distribusi paling dekat, sasarannya pasar pinggiran, ini yang kami tingkatkan pengawasannya," ujar Supriyadi.
Supriyadi enggan berspekulasi apakah maraknya oplosan daging babi di wilayahnya memang terpengaruh mahalnya daging ayam yang saat ini masih dikisaran Rp 38-40 ribu. Daging sapi pun saat ini dalam kisaran Rp 100-120 ribu di Gunungkidul.
Dari catatan Tempo, daging babi yang dijual di sejumlah pasar Yogyakarta masih stabil diangka Rp 70 ribu perkilogram. "Kami tidak tahu apakah pengaruhnya memang karena daging lain mahal, lalu marak (oplosan daging babi)," ujarnya. Pada para pedagang yang jualannya terbukti mengandung oplosan babi, dinas telah melayangkan teguran keras. "Kami segera cabut izin jualannya jika mengulang," ujarnya.
Dari pantauan Tempo, para pedagang ayam di Pasar Gading, Kota Yogyakarta mulai awal pekan ini mengurangi stok jualannya hingga 50 persen dari hari normal. "Sejak harga daging tinggi, ayam yang dipotong hari ini belum tentu laku esok harinya, jadi kami enggak mau stok terlalu banyak agar tak busuk dan rugi," ujar Suparjo.
Para pedagang heran, meskipun daging ayam kini tak terlalu laku, namun harganya masih saja tinggi. "Harusnya harga bisa turun kalau nggak laku, tapi ini bertahan tinggi terus," ujarnya. Daging ayam itu mulai tak laku menurut Suparjo sejak tanggal 16 Januari lalu.
Ia yang biasanya sehari bisa memotong 50-60 ekor, sepekan ini hanya memotong 20 ekor. Itupun tak habis dalam sehari. "Kami berharap situasi ini segera berakhir dan ketemu penyebabnya, beberapa teman sudah mulai memilih tak berjualan karena terus rugi ayamnnya nggak laku," ujarnya.
PRIBADI WICAKSONO