Sejumlah anggota Polisi menghalau pengendara motor yang akan melintas setelah terjadi pembunuhan salah seorang ormas pasca kericuhan di dalam Lembaga Pemasyarakatan Kerobokan di Jalan Tengku Umar, Denpasar, Bali, 17 Desember 2015. TEMPO/Johannes P. Christo
TEMPO.CO, Denpasar - Kepala Kepolisian Daerah Bali Inspektur Jenderal Sugeng Priyanto menyatakan kesulitan menangani organisasi kemasyarakatan yang akhir-akhir ini meresahkan masyarakat Bali. Pasalnya, kewenangan membina dan membubarkan ormas bukan menjadi kewenangan polisi.
“Itu (membubarkan) bukan kewenangan kami. Itu pun prosesnya sangat rumit, diawali dengan peringatan bertahap,” ujarnya dalam rapat koordinasi penanganan masalah keamanan di Bali yang digelar Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bali, Senin, 4 Januari 2016.
Terkait dengan kondisi itu, dia malah berharap desa adat di Bali dapat meningkatkan perannya untuk membatasi peran ormas. “Di Bali, adat masih sangat dihormati, jadi bisa lebih berperan,” ucapnya.
Kapolda mengaku tak menduga akan adanya bentrok ormas menjelang tahun baru yang berawal dari kerusuhan di Lembaga Pemasyarakatan Kerobokan. Perhatian polisi tercurah pada pengamanan Natal dan tahun baru, khususnya terkait dengan isu terorisme. Sedangkan pada awal Desember lalu, konsentrasi Polda tercurah pada pengamanan pilkada Serentak.
Menanggapi harapan Kapolda, Ketua Majelis Utama Desa Pekraman (MUDP) Jro Putu Suwena Upadesa menuturkan sejumlah desa adat di Bali kini telah menerapkan pembatasan ormas. Seperti ormas di Desa Muncan, Karangasem, di mana dia menjadi bendesa (pengurus), telah membuat perarem (aturan adat) dengan sanksi yang cukup keras.
Aturan itu mencakup larangan memasang baliho dan bendera ormas, berkelahi, serta membuat kerusuhan. Yang melanggar akan diadili dalam forum di desa dan melakukan berbagai upacara, termasuk bisa didenda 100 kilogram beras. Bila terjadi perkelahian yang mengakibatkan luka, akan dibebani pembiayaan korban luka. Sedangkan bila ada korban mati, harus membiaya biaya upacara hingga pengabenan.