COP21 Sukses, Ini Pekerjaan Rumah Indonesia
Selasa, 15 Desember 2015 14:52 WIB
TEMPO.CO, Paris - Hasil Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim di Paris menghendaki semua negara melaporkan pencapaian mereka dalam program pengurangan emisi melalui pembangunan rendah karbon. Kesepakatan Paris (Paris Agreement) menjadi landasan komitmen global pasca 2020.
“Hal ini hanya bisa terwujud melalui kerja sama dengan aktor nonpemerintah, termasuk di dalamnya sektor bisnis, kota, dan kelompok masyarakat luas,” kata Nyoman Iswarayoga, Direktur Komunikasi dan Advokasi WWF Indonesia, Selasa, 15 Desember 2015.
Menurut Nyoman Iswarayoga, kesepakatan yang dicapai di Paris adalah bukti bahwa masyarakat dunia lebih sadar dan peduli akan pentingnya kolaborasi skala besar untuk menangani permasalahan perubahan iklim.
Paris Agreement berhasil ditandatangani pada 12 Desember 2015 dan merupakan cerminan persetujuan pemerintah di berbagai belahan dunia untuk mengesampingkan kepentingan masing-masing demi mengurangi pemanasan global.
Lewat Paris Agreement semua negara sepakat mengembangkan kesadaran dan sikap baru untuk bersama-sama menghadapi ancaman perubahan iklim, mengambil tindakan lebih secara progresif, dan bersama mencapai tujuan yang melindungi kelompok rentan di dunia.
Meski menggembirakan, WWF memandang Paris Agreement tetap memerlukan penguatan dan dukungan tambahan dari tiap negara. Hanya dengan kedua hal itu, kata organisasi ini, langkah yang ditempuh bisa menahan laju pemanasan global di bawah 2,0 derajat Celcius atau bahkan 1,5 derajat Celcius.
Saat ini INDCs (Intended Nationally Determined Contributions) dari seluruh anggota UNFCCC hanya memenuhi setengah dari pengurangan emisi yang diperlukan dan masih meninggalkan kekurangan sebesar 12–16 giga ton emisi.
“WWF menyambut positif Paris Agreement. Kesepakatan tersebut memiliki beberapa elemen penting untuk menyelamatkan dunia dari dampak terburuk perubahan iklim. Di dalamnya juga sudah menggambarkan perhatian untuk perlindungan kelompok rentan dan kepentingan Indonesia,” kata Efransjah, CEO WWF Indonesia.
Kesepakatan Paris memuat tujuan global untuk adaptasi perubahan iklim, termasuk secara terpisah menyebut tentang kerusakan dan kerugian akan dampak perubahan iklim (loss and damage).
Selain itu, di dalam naskah perjanjian ini ada penegasan bahwa semua negara harus bertindak untuk menahan laju deforestasi, degradasi lahan, dan memperbaiki tata kelola lahan. Sektor kehutanan ini termasuk proses yang dapat dijadikan acuan untuk melakukan perhitungan emisi karbon pada sektor lahan.
Dimasukkannya klausul ini sesuai dengan kepentingan Indonesia. Pada COP21 Paris, Indonesia meluncurkan sistem perhitungan emisi karbon dari sektor lahan yang dikenal dengan nama INCAS (Indonesia National Carbon Accounting System).
Selain harus mewujudkan sistem itu, pekerjaan rumah lain bagi Indonesia adalah mempertahankan akselerasi pembangunan agar bisa mencapai puncak emisi karbon (carbon peak) dari pembangunan konvensional pada tahun 2020 dan menurunkan emisi karbon secara drastis pada tahun-tahun sesudahnya.
Selain mengurangi laju deforestasi dan degradasi lahan, upaya yang perlu ditempuh Indonesia sejak sekarang adalah mengikuti transisi global menuju penggunaan energi bersih dan terbarukan. “Pekerjaan rumah terbesar memang mengimplementasikan komitmen dalam INDCs secara sistematis dan bertanggung jawab di Tanah Air," kata Efransjah.
Sampai konferensi COP21 berakhir, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) tetap menyayangkan sikap pragmatis delegasi Indonesia di COP Paris. Pemerintah Indonesia, dinilai Walhi, lebih mementingkan dukungan program yang merupakan bagian dari mekanisme pasar (market mechanism) yang telah dibangun oleh negara-negara maju dalam negosiasi di Paris.
Manajer Kampanye Walhi Kurniawan Sabar menegaskan masyarakat sipil tidak bisa berharap pada perbaikan sistem pengelolaan sumber daya alam di Indonesia yang lebih maju. “Jika pengelolaan hutan, pesisir dan laut, serta energi Indonesia masih menjadi bagian dari skema pasar, khususnya yang hanya untuk memenuhi hasrat negara maju untuk mitigasi perubahan iklim,” katanya.
Pekerjaan rumah utama Indonesia, kata Kurniawan, adalah benar-benar melakukan perbaikan tata kelola hutan dan gambut, pesisir dan laut, serta menghentikan penggunaan energi dari sumber kotor batu bara. Selain itu, tambahnya, pemerintah harus menghentikan kejahatan korporasi dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. "Hal itu harus dilakukan dengan serius, bukan pencitraan semata," katanya.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengakui banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan Indonesia setelah COP Paris. Dia berjanji akan bekerja keras bersama semua pemangku kepentingan di Tanah Air, termasuk masyarakat adat.
Sejauh ini, kata Siti, Indonesia puas karena kepentingan nasional Indonesia masuk dalam Paris Agreement. Isu kelautan, pusat-pusat konservasi keanekaragaman hayati, dan penegasan tentang REDD, semua dicantumkan dalam dokumen Kesepakatan Paris.
Siti Nurbaya menegaskan bahwa Indonesia ke depannya harus bekerja keras memastikan kenaikan suhu bumi di bawah 2 derajat Celcius. “Di Maroko, pada COP22 nanti, akan ada lebih banyak hal yang bisa ditunjukkan Indonesia kepada dunia,” janji Siti Nurbaya yang baru pertama kali menjadi Ketua Delegasi Indonesia dalam Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim (COP).
UNTUNG WIDYANTO