Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto berjalan keluar ruangan seusai menjalani sidang etik Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, 7 Desember 2015. Menurut pernyataan anggota MKD asal Fraksi Demokrat Guntur Sasono, Setya Novanto membantah keterangan pengadu, Menteri ESDM Sudirman Said, dan juga saksi yakni Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin. TEMPO/Dhemas Reviyanto
TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Hanura, Syarifuddin Sudding, mengatakan, dalam sidang MKD yang digelar pada 7 Desember lalu, Ketua DPR Setya Novanto tidak membantah secara tegas isi rekaman yang diserahkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said.
"Dia hanya merasa keberatan rekaman itu diambil tanpa seizin dan sepengetahuan dirinya," katanya saat ditemui seusai sidang MKD dengan agenda pemeriksaan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan pada Senin, 14 Desember 2015.
Sudding sendiri telah memutuskan sanksi yang akan diberikan kepada Setya. "Masak, ya, harus saya sampaikan sekarang? Nanti saja di rapat internal, baru akan saya sampaikan. Yang jelas, menurut saya, MKD seharusnya sudah bisa memutuskan apa sanksi bagi Pak Setya sebelum reses," tuturnya.
Menurut Sudding, MKD seharusnya sudah bisa menyimpulkan apa sanksi bagi Setya tanpa memanggil Riza. Dia pun berujar rekaman asli tidak diperlukan karena, "Yang penting adalah isi rekamannya. Bukan ilegal atau tidaknya. Kalau masalah hukum, biar Kejaksaan Agung yang memutuskan," tuturnya.
Selama tiga jam, hari ini MKD telah memeriksa Luhut dalam sidang yang berlangsung terbuka terkait dengan kasus pencatutan nama Presiden Joko Widodo, yang diduga dilakukan Ketua DPR Setya Novanto. Dalam persidangan, Luhut menegaskan bahwa dirinya tidak mengetahui pertemuan Setya dengan pengusaha minyak M. Riza Chalid dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin.
Luhut pun menegaskan bahwa dirinya konsisten dengan perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia yang seharusnya dilakukan pada 2019. Namun Luhut mengaku tidak ambil pusing soal penyebutan namanya sebanyak 66 kali dalam rekaman pembicaraan tersebut.