TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Indonesia digugat oleh perusahaan tambang asal India, India Metals and Ferro Alloys Limited (IMFA) dalam forum arbitrase internasional di Permanent Court of Arbitration. Gugatan tersebut muncul akibat tumpang tindih lahan Izin Usaha Pertambangan (IUP) . Perusahaan tersebut menuntut ganti rugi dari pemerintah senilai US$ 581 juta atau sekitar Rp 7,5 triliun.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Bambang Gatot Ariyono mengatakan kasus tersebut berawal dari pembelian PT Sri Sumber Rahayu Indah oleh IMFA pada 2010. PT Sri memiliki IUP untuk batubara di Barito Timur, Kalimantan Tengah.
Setelah adanya pembelian tersebut, rupanya IMFA tak bisa melakukan penambangan lantaran IUP yang dimiliki PT Sri tidak Clean and Clear. "Mereka lalu gugat kita Rp 7,5 triliun karena tak bisa melakukan penambangan di lahan seluas 3.600 hektare yang dimiliki PT Sri," ujar Bambang saat ditemui di kantornya, Rabu, 18 November 2015.
Bambang menjelaskan, IUP tersebut diterbitkan oleh bupati Barito Timur pada 2006. IUP tersebut tumpang tindih dengan IUP tujuh perusahaan lain. "Mereka sudah tahap IUP produksi, tapi ada tumpang tindih lahan dengan 7 IUP lain di wilayahnya," kata dia.
Gugatan tersebut masuk pada 23 September 2015 dan akan mulai sidang pertama pada 6 Desember 2015 dengan 3 orang arbiter yang dipimpin arbiter independen di arbitrase Singapura. Dalam waktu maksimal 2 tahun, arbitrase akan menetapkan keputusan.
Bambang menambahkan, pihaknya telah berkoordinasi dengan Direktur Perdata Jamdatun Kejaksaan Tinggi Provinsi Kalteng untuk mengusut dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh mantan bupati Barito Timur. Selain itu, kata Bambang, pemerintah juga bakal mengambil langkah penyelesaian di luar ranah hukum. "Kami akan coba untuk pendekatan ke perusahaan tersebut," ujarnya.
Kepala Biro Hukum Ditjen Minerba Kementerian ESDM, Heriyanto, menilai gugatan yang diajukan IMFA masih lemah dan ada kejanggalan. Menurut dia, seharusnya perusahaan India tersebut melakukan legal audit terlebih dahulu sebelum mengakuisisi PT Sri, apakah IUP PT Sri sudah clen and clear. "Tapi IMFA itu tidak melakukan legal audit terhadap PT Sri," ujarnya.