Suku Bajo Didorong Kembangkan Wisata Maritim
Editor
Untung Widyanto koran
Rabu, 21 Oktober 2015 04:04 WIB
TEMPO.CO, Makkasar - Ketua Himpunan Mahasiswa Bajo Makassar Sutirman meminta pemerintah tidak lagi berpikir bahwa suku Bajo yang sekarang sama seperti Suku Bajo dulu.
“Kami sudah tidak lagi hidup nomaden, tapi sudah menetap,” kata Sutirman pada acara seminar Suku Bajo Asia Pasifik yang diadakan di Novotel Hotel, Makkasar, pada Selasa, 20 Oktober 2015.
Menurutnya, karena suku Bajo sulit melepaskan diri dari laut, hal yang harus dilakukan pemerintah adalah mengeluarkan kebijakan yang berpihak kepada Suku Bajo, yang kebanyakan berprofesi sebagai nelayan.
“Jangan harga bahan bakar minyak saja yang terus naik, tapi harga ikan tidak pernah naik,” katanya. Menurutnya, keturunan Suku Bajo mulai tahu arti penting pendidikan. Di Makassar, saat ini, ada 800 mahasiswa keturunan Suku Bajo yang kuliah, yang berasal dari 12 provinsi.
Deputi Bidang Sumber Daya Manusia, Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Budaya Maritim, Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya Safri Burhanuddin mengatakan Suku Bajo didorong mengembangkan usaha pariwisata maritim.
"Agar mereka tidak selalu bergantung pada usaha mencari ikan, sampai harus merusak karang dan mengebom ikan,” kata Safri. Menurutnya, Suku Bajo memiliki pemahaman mendalam terhadap pengelolaan sumber daya alam di darat dan di laut.
Suku Bajo juga memiliki kearifan dalam mengelola sumber daya perikanan. “Tapi, mereka masih rentan terpinggirkan dari mata pencaharian dan ketersediaan sumber-sumber makanan,” katanya.
Agar ke depan tidak tergusur dari tempat tinggalnya, kementerian berusaha mengajari Suku Bajo agar bisa menjadi pendamping wisatawan, membuka usaha jasa wisata laut, atau mengembangkan budaya Suku Bajo agar memiliki nilai jual. “Tanpa harus meninggalkan pekerjaan mereka sebagai nelayan,” kata Safri.
Presiden Suku Bajo Indonesia Abdul Manan mengatakan, di Indonesia, populasi Suku Bajo berkisar mulai dari 7 juta sampai 11 juta jiwa.
Mereka masih rentan terhadap penggusuran karena kebanyakan tidak punya sertifikat hak milik atas lahan yang mereka tempati. “Karena laut tidak bisa dibuatkan sertifikat,” kata Abdul.
Ada beberapa contoh Suku Bajo yang harus direlokasi dari tempat tinggalnya dengan alasan pembangunan, seperti di daerah Kolaka dan Bombana, Sulawesi Tenggara. Suku Bajo dipindah dari pulau ke daratan karena pulau tersebut akan dijadikan tempat wisata. “Beruntung prosesnya dilakukan dengan baik sehingga tidak ada konflik,” katanya.
Dia mendukung upaya pemerintah meningkatkan pengetahuan Suku Bajo tentang potensi wisata karena sejak dulu, Suku Bajo memang ahli dalam melanglang laut.
MUHAMMAD YUNUS