Hari Pangan Dunia: Perempuan Ajak Tak Bergantung pada Impor
Editor
Sunu Dyantoro
Sabtu, 17 Oktober 2015 08:20 WIB
TEMPO.CO, Yogyakarta - Perempuan petani bercaping menggendong wadah berbahan bambu berisi keripik rumput laut, wajik, tiwul, ketela rambat rebus, dan gembili rebus. Mereka membagi-bagikan makanan itu ke pengguna jalan di kawasan Tugu Yogyakarta.
Sayur mentah kenikir, kacang panjang, gambas, terong, setandan pisang, jagung, dan padi menemani mereka. Ini adalah aksi damai perempuan petani bersama aktivis Solidaritas Perempuan Kinasih Yogyakarta dan berbagai organisasi non-pemerintah memperingati Hari Pangan Dunia atau World Food Day, yang jatuh setiap tanggal 16 Oktober.
Aksi itu mengajak masyarakat untuk mencintai pangan lokal atau pangan yang bersumber atau ditanam dari lingkungan sekitar. Petani bersama aktivis mengenakan baju lurik, batik, dan kebaya. Petani yang datang sebagian berasal dari Desa Wonolelo, Kecamatan Pleret, Bantul.
Mereka adalah perempuan petani yang menanam beragam pangan lokal di desa itu. Selain padi dan tanaman palawija, mereka menanam umbi-umbian seperti gembili di pekarangan. Beragam sayur sehat menggunakan pupuk kandang juga menjadi sumber pangan mereka.
Ketua Solidaritas Perempuan Kinasih Yogyakarta, Bonnie Kertaredja, mengatakan kampanye pangan lokal penting di tengah gempuran makanan pabrikan, yang mengandung bahan kimia. “Kami mengajak orang untuk tidak bergantung pada makanan impor. Pangan lokal melimpah,” kata Bonie.
Dia mengatakan Solidaritas Perempuan setidaknya mendampingi 300 lebih petani perempuan di Kabupaten Bantul dan Sleman. Tujuannya adalah untuk membuat perempuan petani menjadi mandiri dan berdaulat atas pangan yang mereka produksi. Mereka punya lumbung pangan untuk menjaga ketersediaan makanan.
<!--more-->
Perempuan petani juga menjadi lebih berdaya dengan menambah sumber ekonomi keluarga. Bonie mencontohkan dari hasil mengolah pangan lokal untuk dijual ke pasar, perempuan petani di sana rata-rata bisa menabung. Per bulan pendapatan mereka dari hasil menjual olahan pangan lokal rata-rata Rp 300 ribu.
Bonie mengkritik pemerintah yang belum memberikan jaminan perlindungan terhadap perempuan dalam Undang-Undang Pangan. Misalnya perempuan tidak banyak dilibatkan dalam pengambilan keputusan pada proses produksi dan distribusi pangan. Perempuan punya peran penting untuk mewujudkan ketersediaan pangan. Misalnya di desa, perempuan menyiapkan benih dan memasarkan hasil produksi pertanian. Pemerintah juga tidak peduli terhadap ketersediaan lahan-lahan pertanian.
Dia mencontohkan masifnya pembangunan apartemen dan perumahan sebagai dampak alih fungsi lahan. Ada juga kerusakan lingkungan akibat perusahan tambang. Perempuan petani menjadi kehilangan sumber kehidupannya. Bonie menyebut alih fungsi lahan di Kabupaten Sleman mencapai 20 hektar per tahun.
Samini, satu dari perempuan petani dari Desa Wonolelo mengatakan sumber pangan di Wonolelo, kata Samini melimpah. Selain digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup, hasil panenan petani dijual ke pasar.
Sebagian besar petani di desa itu menggunakan pupuk kandang untuk tanaman mereka. Petani tahu menggunakan pupuk dari kotoran sapi lebih bagus untuk tanaman dan menjaga kesuburan tanah. “Kotoran sapi melimpah. Kami tidak tergantung pada pupuk kimia,” kata Samini.
SHINTA MAHARANI