Aktivis penolak tambang pasir Lumajang, Tosan (kanan) bersama istrinya Ati Hariati saat di temui petugas Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban di Rumah Sakit Saiful Anwar, Malang, Jawa Timur, 13 Oktober 2015. Setelah dinyatakan pulih oleh dokter, korban kekerasan penolak tambang pasir di desa Selok Awar-awar Lumajang tersebut hari ini boleh meninggalkan rumah sakit. TEMPO/Aris Novia Hidayat
TEMPO.CO, Lumajang - Tahun 2014 PT IMMS berhenti beroperasi karena tak punya smelter sesuai amanat UU NO 4 Tahun 2009 tentang Minerba. Berlanjut pada 31 Oktober 2014, stock pile atau tempat penampungan pasir besi milik PT DGI di Probolinggo disegel Satuan Polisi Pamong Praja setempat.
Meski menyatakan non-aktif, kenyataannya bermunculan tambang pasir besi ilegal yang dikelola pihak ketiga seperti di Desa Selok Awar-awar. Hasil temuan Walhi dari keterangan warga desa setempat, kata Ony, setoran untuk memuluskan pertambangan pasir selama ini diduga mengalir mulai tingkat polsek, polres hingga polda. “Warga menginformasikan Polda melakukan operasi di lokasi 2-3 kali dalam setahun,” katanya.
DPRD Lumajang pernah membentuk panitia khusus soal pertambangan pasir pada Agustus 2014. Ketua Pansus saat itu, Sugiyantoko, mengatakan, PT Dampar hanya salah satu “sekoci” PT IMMS untuk menampung dan mengangkut pasir besi ke berbagai daerah bahkan hingga ke luar negeri. “Pansus saat itu menemukan sedikitnya ada 12 perusahaan yang menampung pasir besi PT IMMS,” katanya.
Selain berbentuk perusahaan, banyak pula kelompok masyarakat yang ikut menambang dan menjual pasir besi dari konsesi PT IMMS secara ilegal. Mereka menjual pasir besi dengan berbekal surat jalan yang berkop PT IMMS. “Banyak juga yang akhirnya memalsukan surat jalan PT IMMS,” kata dia.