Pelaksana Tugas (Plt) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Indriyanto Seno Adjie saat jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, 20 Februari 2015. Indriayanto Seno Adjie menjadi Plt Pimpinan KPK bersama Johan Budi dan Taufiqurrahman Ruki, menggantikan Abraham Samad dan Bambang Widjojanto. TEMPO/Eko Siswono Toyudho
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Indriyanto Seno Adji mengatakan lembaganya sering menghentikan penyelidikan lantaran tak ditemukan dua alat bukti permulaan yang cukup selama prosesnya dilakukan. Alhasil, tidak ada orang yang dapat dijadikan sebagai tersangka dan dimintai pertanggungjawaban karena tahap penyelidikan yang sudah berjalan itu tak bisa naik ke tahap penyidikan.
"Lembaga penegak hukum lain mencari bukti dugaan tindak pidana pada tahap penyidikan, sedangkan KPK mencari bukti di tahap penyelidikan. Jika di penyelidikan KPK tidak menemukan bukti permulaan, maka penyelidikan itu dihentikan. Kami sering menghentikan penyelidikan," kata Indriyanto saat berbicara di diskusi Lembaga Pengkajian Independen Kebijakan Publik di Hotel Borobudur Jakarta, Selasa, 13 Oktober 2015.
Aturan ini tercantum di Pasal 44 Undang-Undang KPK yang berbunyi "Dalam hal penyelidik melakukan tugasnya tidak menemukan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelidik melaporkan kepada KPK dan KPK menghentikan penyelidikan."
Kewenangan menghentikan pengusutan perkara ini, tak dimiliki KPK lagi ketika sudah menetapkan seseorang sebagai tersangka atau sudah pada tahap penyidikan. Pasal 40 UU KPK menyatakan "KPK tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi."
Indriyanto mengatakan filosofi KPK yang tak diberi kewenangan menghentikan penyidikan, menjadi pembeda dengan lembaga penegak hukum lain. "Saya ingat Profesor Romli Atmasasmita sebagai perumus UU KPK menyebut jika KPK bisa menerbitkan SP3, tidak ada karakter khusus bagi KPK," ujar guru besar hukum pidana Universitas Indonesia itu.
Keseriusan mengusut perkara korupsi itu yang menjadi alasan sampai sekarang KPK selalu berhasil membuktikan dugaan tindak pidana korupsi yang telah disangkakan kepada seseorang. Pada tahap penyidikan, alat bukti permulaan yang sebelumnya ditemukan di tahap penyelidikan, diperdalam. Upaya paksa seperti pemeriksaan, penggeledahan, hingga penyitaan, selalu dilakukan.
Pakar hukum pidana Universitas Gadjah Mada Eddy O. S. Hiariej menilai KPK seharusnya diberi kewenangan untuk menerbitkan SP3. Musababnya, banyak orang yang menyandang status tersangka KPK dalam rentang waktu lama. "Anas Urbaningrum dan Emir Moeis adalah contonya," katanya dalam diskusi yang sama.
Anas, politikus Partai Demokrat, terjerat kasus korupsi proyek pembangunan pusat olahraga di Hambalang, Bogor, sedangkan Emir yang merupakan politikus PDI Perjuangan tersimbat perkara korupsi proyek pengadaan pembangkit listrik tenaga uap di Tarahan, Lampung. Keduanya divonis bersalah oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta karena terbukti korupsi.