Anggota Koalisi Pemantau Peradilan melakukan aksi peletakan batu pertama pembangunan Museum KPK di halaman Gedung KPK, Jakarta, 8 Oktober 2015. Aksi yang dilakukan tersebut sebagai protes terhadap DPR yang memasukkan RUU KPK kedalam prolegnas sehingga dapat melemahkan KPK. Tempo/Dian Triyuli Handoko
TEMPO.CO, Jakarta - Pemimpin dan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi ikut berunjuk rasa bersama aktivis Komunitas Gerakan Antikorupsi Alumni Lintas Perguruan Tinggi di depan gedung KPK, Jumat sore, 9 Oktober 2015.
Pelaksana tugas Ketua KPK Taufiequrachman Ruki serta dua Wakil Ketua KPK, yakni Zulkarnain dan Adnan Pandu Praja, turut serta berdemo bersama akademikus dan perwakilan Badan Eksekutif Mahasiswa Indonesia di lobi gedung KPK.
Dalam aksinya, demonstran mengenakan sarung tangan berwarna merah bertuliskan GAK--singkatan Gerakan Antikorupsi. Sarung tangan itu dikenakan di tangan kiri sebagai lembang penolakan terhadap segala upaya pelemahan KPK.
Ketua Wadah Pegawai KPK Faisal dalam orasinya mengatakan pegawai komisi antirasuah akan melawan jika revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK terus bergulir di Dewan Perwakilan Rakyat. "Kami, pegawai KPK, akan melawan segala tindakan yang akan melemahkan KPK secara organisasi," ucap Faisal.
Adapun Ruki berujar, ketika upaya pemberantasan korupsi ditekan para politikus, harapannya hanya pada masyarakat. "Sandaran kami hanya pada gerakan masyarakat antikorupsi," tutur Ruki.
Koordinator GAK Alumni Lintas Perguruan Tinggi, Rudy Johannes, mengatakan alumnus perguruan tinggi menentang keras pembahasan revisi UU KPK di Dewan. "Kami meminta DPR membatalkan revisi UU itu karena mengkhianati tujuan nasional dan amanah reformasi," ucap Rudy.
Selasa lalu, Badan Legislasi DPR menyetujui percepatan revisi UU KPK. Bahkan sebagian besar fraksi mendukung draf Rancangan UU KPK yang isinya membubarkan lembaga ini dalam 12 tahun ke depan terhitung sejak resmi menjadi UU. Beleid tersebut tertuang dalam Pasal 5 dan Pasal 73 RUU KPK.
Ada beberapa pasal lain dalam draf RUU KPK yang ikut disorot berbagai kalangan. Misalnya Pasal 13, Pasal 14, Pasal 22-24, dan Pasal 39. Pasal 13 mengatur tentang kasus yang boleh diusut KPK hanya menyangkut perkara yang menimbulkan kerugian negara lebih dari Rp 50 miliar. Pasal 14 membatasi tugas penyadapan oleh KPK, yang lebih dulu harus mendapatkan izin dari pengadilan. Pasal 22-Pasal 24 mengenai pembentukan Dewan Eksekutif, yang fungsinya mengambil alih tugas-tugas pimpinan KPK. Sedangkan Pasal 39 mewajibkan pembentukan Dewan Kehormatan dengan tugas memeriksa dugaan pelanggaran etik pemimpin KPK.