Dugaan korupsi kasus bermula saat SKK Migas melakukan proses penunjukan langsung penjualan minyak mentah atau kondesat bagian negara kepada PT TPPI. Dalam prosesnya PT TPPI mendapat keuntungan dari penunjukan langsung yang dilakukan SKK Migas. TEMPO/Imam Sukamto
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Subdirektorat Tindak Pidana Pencucian Uang Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Badan Reserse dan Kriminal Kepolisian RI Komisaris Besar Golkar Pangraso mengatakan penyidik masih menunggu hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan terkait kasus dugaan korupsi penjualan kondensat PT Trans Pasific Petrochemical Indotama (TPPI).
Menurut dia, rumitnya kasus TPPI membuat penghitungan kerugian negara membutuhkan waktu yang cukup lama. "Dua atau tiga pekan ke depan sudah keluar hasil audit BPK," kata Golkar saat dihubungi, Selasa, 22 September 2015.
Seperti diberitakan sebelumnya, TPPI telah melakukan 149 kali lifting pada 2009-2011. Sesuai standard operating procedure (SOP), pembayaran hasil penjualan kondensat harus disetorkan ke kas negara paling lambat 30 hari setelah lifting.
Ternyata SOP itu tidak ditaati dengan alasan kondisi finansial TPPI saat itu sedang pailit. Itu sebabnya penunjukan TPPI sebagai mitra penjualan kondensat dinilai janggal dan berpotensi merugikan keuangan negara secara mutlak.
Jumlah kerugian negara yang ditimbulkan oleh PT TPPI diperkirakan sekitar US$ 156 juta atau sekitar Rp 2 triliun. Namun penyidik Bareskrim Mabes Polri membutuhkan hasil audit BPK guna memastikan jumlah kerugian negara.
Hingga saat ini penyidik Bareskrim telah memeriksa 26 orang saksi. Mereka berasal dari PT TPPI, SKK Migas, serta mantan pejabat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Adapun tiga orang mantan pejabat SKK Migas dan TPPI telah ditetapkan sebagai tersangka. Mereka adalah mantan Kepala SKK Migas Raden Priyono, mantan Deputi Ekonomi dan Pemasaran SKK Migas Djoko Harsono, serta mantan Direktur PT TPPI Honggo Wendratmo. Para tersangka diduga menyalahgunakan wewenang terkait penjualan kondensat bagian negara.