TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Veri Junaidi memetakan lima varian atau kriteria yang dapat diklasifikasikan sebagai daerah petahana atau daerah yang merujuk pada wilayah yang memiliki kandidat yang masih memegang jabatan atau kuasa di daerah tersebut.
Pemetaan tersebut terkait dengan potensi munculnya politisasi birokrasi, kemungkinan penggunaan fasilitas negara dan penyalahgunaan kewenangan yang bisa terjadi untuk kepentingan pemenangan.
Kode Inisiatif membagi daerah Petahana menjadi lima varian yang bisa memicu terjadinya politisasi birokrasi yakni:
1. Di daerah dimana kepala daerah dan wakilnya pecah kongsi dan keduanya dipertemukan sebagai lawan pada saat Pemilu. Di daerah ini memiliki potensi pelibatan birokrasi yang kuat karena kepala daerah bisa menggunakan pengaruhnya, begitu juga dengan wakilnya. Hal ini mengakibatkan adanya tarik menarik dukungan di internal Aparatur Sipil Negara (ASN) yang semakin kuat.
2. Di daerah dimana kepala daerah dan wakil kepala daerah kembali maju, artinya keduanya tetap solid dalam satu paket untuk melawan kandidat kepala daerah lainnya. Varian ini rawan dengan potensi terjadinya Politisasi birokrasi karena kedua pasangan menguasai birokrasi Di wilayah tersebut dan memiliki akses untuk mengatur birokrasi.
3. Kepala daerah atau wakil yang melawan kepala daerah yang berasal dari daerah lain (yang kemudian mengajukan diri untuk menjadi kepala daerah atau wakil di daerah tersebut). Sehingga hanya muncul satu petahana dan tidak ada satu pembanding yang bisa mengontrol birokrasi,
4. Kepala daerah atau wakil yang melawan kandidat non petahana, sehingga ia memiliki kemampuan untuk mengontrol birokrasi,
5. Kepala daerah atau wakil yang tidak lagi mencalonkan diri, namun mencalonkan anggota keluarganya atau kerabatnya untuk menjadi kandidat kepala daerah atau wakilnya, sehingga meski tidak maju dalam Pilkada namun kuasa yang dimiliki dapat memberikan kekuatan untuk mempolitisasi birokrasi.
Menurut Veri, Peta Petahana dan potensi Politisasi Birokrasi penting untuk dibentuk sebagai tindakan untuk mengantisipasi agar kekuatan birokrasi tidak digunakan sebagai alat pemenangan, karena berkaca pada pemilu kepala daerah pada tahun 2011 banyak pemilu kepala daerah yang harus berujung pada Mahkamah Konstitusi karena adanya Kasus Penyimpangan oleh Petahana.