Ketua KPK Tafiequrachman Ruki, Ketua Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK (Pansel Capim KPK) Destry Damayanti, Juru bicara Pansel Capim KPK Betty Alisjahbana dan Plt Wakil Pimpinan KPK, Johan Budi mengangkat tangan usai melakukan pertemuan di Gedung KPK, Jakarta, 9 Juni 2015. TEMPO/Eko Siswono Toyudho
TEMPO.CO, Jakarta - Pegiat antikorupsi berharap panitia seleksi calon pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi tak meloloskan calon yang berafiliasi dengan partai politik ataupun politikus dalam proses selanjutnya. Masuknya politikus di KPK menjadikan upaya menyapu koruptor rawan terhambat. Bahkan politikus dianggap sebagai pihak pertama yang patut dicurigai dalam berbagai upaya pelemahan KPK.
“KPK menjadi rawan disusupi,” kata Koordinator Investigasi Indonesia Corruption Watch Febri Hendri di Jakarta Pusat, 5 Juli 2015. Febri merujuk pada kewenangan pemimpin KPK yang nantinya mempunyai akses atas penanganan kasus. Politikus, kata dia, bisa saja menenggelamkan atau membocorkan kasus tertentu.
Panitia seleksi telah meloloskan 194 dari 611 pendaftar dalam tahap administrasi. Mereka berasal dari beragam latar belakang. Selanjutnya, panitia seleksi akan mengikutsertakan calon yang memenuhi persyaratan administrasi ini dalam uji makalah dan wawancara.
Peneliti dari Indonesia Corruption Watch, Abdullah Dahlan, di Batu, Jawa Timur, menyatakan calon yang berafiliasi dengan partai politik dikhawatirkan memunculkan konflik kepentingan. Politikus juga diragukan berkomitmen mendukung agenda pemberantasan korupsi. "Berbahaya jika mereka menjadi pimpinan KPK."
Koordinator Malang Corruption Watch Zainuddin dan jaringan antikorupsi se-Jawa Timur menyatakan siap melacak rekam jejak para kandidat. "Kami juga mengawal kinerja panitia seleksi," katanya. "Kami juga menelisik korupsi sampai soal ranjang. Itu adalah cikal-bakal melihat integritas," kata Febri di tempat terpisah.
Juru bicara panitia seleksi, Betti Alisjahbana, mempersilakan para aktivis ikut menelusuri rekam jejak calon. "Karena, dengan begitu, masyarakat bisa mengawasi jalannya tes dan tes menghasilkan peserta yang berkualitas," katanya.
Ilham Saenong dari Transparency International Indonesia mengkritik panitia yang hanya memberi publik waktu sebulan untuk menanggapi atau memberi masukan. Apalagi waktu tersebut sudah terpotong libur puasa dan Lebaran. Sedangkan panitia tak menjelaskan mekanismenya. Padahal masukan yang negatif rawan dikriminalkan, terutama terhadap calon yang berlatar penegak hukum. "Tanpa mekanisme yang jelas, kesempatan memberi masukan menjadi sia-sia," katanya.