Puluhan instalasi seni berupa tangan harapan tertancap di atas lumpur Lapindo, di desa Siring, Porong, Sidoarjo (29/5). Instalasi tangan harapan karya seniman dari komunitas Taring Padi dari Yogyakarta sebagai simbol harapan, kecaman, dan kutukan kepada perusahaan Minarak Lapindo Jaya maupun pemerintah dalam menangani ganti rugi kepada korban lumpur Lapindo. TEMPO/Fully Syafi
TEMPO.CO , Sidoarjo : Juwito, 65 tahun, korban lumpur Lapindo dari Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, sudah dua tahun ini tinggal di tanggul titik 42. Pilihannya itu semata demi mendapat pelunasan pembayaran ganti rugi bagi warga korban lumpur Lapindo.
"Tepatnya dua tahun tiga bulan," kata Juwito saat mengobrol dengan Tempo ditemani sejumlah warga korban lumpur lainnya, Minggu siang, 21 Juni 2015. Juwito tinggal di tanggul lumpur sendirian tanpa ditemani warga lain atau keluarga.
Juwito mengatakan keputusannya untuk tinggal ditanggul dilakukannya pada 2013. Latar belakangnya karena dia kecewa dengan koordinator warga yang tak sepenuhnya berjuang menuntut ganti rugi.
Atas kekecewaannya itu, ia memutuskan tinggal di tanggul dengan memanfaatkan peti kemas yang dimodifkasi menjadi rumah bekas tempat istirahat pekerja dari Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. Selain ia gunakan berteduh dan tidur, tempat itu ia jadikan lokasi berkumpulnya warga korban lumpur, seperti yang terjadi pada siang itu.
Perjuangan Juwito tak hanya sebatas tinggal ditanggul. Dia bersama warga lainnya ikut ke Jakarta untuk menuntut pelunasan pembayaran ganti rugi. "Alhamdulillah perjuangan kami tak sia-sia. Saat ini pemerintah mau menalangi," kata dia.
Saat ditanya sampai kapan ia harus tinggal di tanggul, setelah pemerintah berencana melunasi pembayaran ganti rugi, bapak tiga anak itu hanya tersenyum sambil mencoba mengalihkan pembicaraan ihwal pembayaran ganti rugi yang rencananya dibayar pada 26 Juni 2015.
"Saya malah tidak yakin kalau tanggal 26 Juni akan dibayar. Tapi saya percaya Pak Jokowi akan membayarnya," kata Juwito.
Untuk bertahan hidup di tanggul, selama ini ia mengharapkan belas kasihan pengunjung. "Di menara tempat pengunjung melihat semburan lumpur, saya taruh kaleng, siapa tahu ada yang ngasih uang," kata dia.
Setiap hari uang yang terkumpul tak menentu. Ia pun enggan menyebut jumlahnya.