Kisah Bocah 10 Tahun yang Dipaksa Menikah
Editor
MC Nieke Indrietta Baiduri
Jumat, 12 Juni 2015 07:05 WIB
TEMPO.CO, Bengkulu - Pernikahan Sudar (23) dan Tustilawati (28) disaksikan kedua orang tua dan satu orang saksi, pagi ini Kamis 11 Juni 2015. Ini bukan pernikahan biasa. Pemerintah Daerah dan Kementerian Agama Kabupaten Bengkulu melegalkan pernikahan mereka yang sebenarnya telah berlangsung empat belas tahun lalu.
Sudar dan Tustilawati adalah sepasang dari sekian banyak anak di Indonesia yang melakukan pernikahan dini. Mereka dipaksa menikah, karena hukum adat pada saat itu tidak memberikan keduanya pilihan.
Mohammad Soleh, 78, Kepala dusun Air Napal Kecamatan Pondok Kelapa Kabupatan Bengkulu Tengah, menuturkan kisah pernikahan yang dilangsungkan empat belas tahun lalu. Soleh adalah saksi pernikahan siri antara Sudar dan Tustilawati.
Soleh menuturkan, pada saat itu Tustilawati masih duduk di bangku SMU dan berusia 15 tahun, dan Sudar berusia 10 tahun. Keduanya dipaksa menikah oleh warga kampung, karena keduanya kepergok sedang berduaan di sebuah pondok. Pada saat itu masyarakat menilai jika keduanya telah melanggar asusila.
"Berdasarkan rapat kampung dan persetujuan orang tua, jadi mereka terpaksa kami nikahkan," kata Soleh.
Taher, ayah Tustilawati, menambahkan pernikahan dini itu berdasarkan persetujuan kedua orang tua. Karena orang tua tidak ingin malu, terutama pihak perempuan khawatir akibat kejadian itu anaknya akan menanggung aib.
"Nanti siapa yang akan menikahi anak saya, jika tahu kejadian ini maka lebih baik kami nikahkan saja," kata Taher.
Seusai pernikahan siri tersebut, Sudar dan Tustilawati menjalani hidup dan tinggal di keluarga masing-masing. Karena hidup terpisah, keduanya tidak memiliki anak. Tustilawati juga tidak pernah berhubungan dengan pria lain.
"Selama ini pernikahan yang kami jalani hanya sebatas akad nikah, dengan adanya sidang isbat ini kami dapat menjalani perkawinan seperti orang lain," kata Tustilawati.
Sementara itu Direktur Women Crisis Center (WCC) Cahaya Perempuan Tety Sumeri mengatakan Sudar dan Tustilawati merupakan salah satu potret nilai-nilai adat dan budaya yang mendorong masih tingginya angka pernikahan dini di daerah ini.
"Bagi mereka, jika menemui kasus seperti ini pernikahan adalah solusi yang paling tepat, dengan pertimbangan rasa malu dan untuk menutupi aib," katanya.
<!--more-->
Padahal, menurut Tety, pernikahan dini menghilangkan hak anak-anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak sebagai jaminan mereka dimasa depan. Tety melanjutkan pernikahan dini merupakan salah satu akar dari berbagai persoalan sosial yang ada di masyarakat. Seperti kekerasaan dalam rumah tangga (KDRT), tingginya angka perceraian, kematian ibu, pengangguran, dan rendahnya kualitas hidup perempuan baik secara ekoonomi, sosial dan kesehatan.
Tety berujar, pernikahan dini yang dialami Tustilawati, hanya satu contoh kisah yang lebih beruntung. Sebab, setelah menikah Tustilawati bisa kembali melanjutkan hidup. Tety mengatakan tak semua seberuntung itu. "Banyak di daerah ini perempuan-perempuan korban pernikahan dini harus menjadi korban KDRT dan hidup dalam kemiskinan," ucapnya.
Tety menambahkan, kebanyakan dari mereka harus hidup dalam kemiskinan, karena tidak mempunyai keterampilan. "Hak untuk mendapatkan pendidikan mereka terkooptasi karena harus menikah," kata Tety.
PHESI ESTER JULIKAWATI