Menteri Yohana Susana Yambise (kedua kiri) menyalakan obor dalam Peringatan Hari Toleransi Internasional di Jalan MH Thamrin, Jakarta, 16 November 2014. TEMPO/Dasril Roszandi
TEMPO.CO, Bandung - Menteri Pemberdayaan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise tidak sepakat dengan wacana kebijakan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang akan membangun lokalisasi prostitusi dan memberikan sertifikat kepada para pekerja seks.
"Soal rencana Pak Ahok membuat lokalisasi di Jakarta sudah saya tanggapi bahwa saya menteri yang melindungi perempuan. Saya meminta berbicara dengan Pak Ahok," ujar Yohana di sela kunjungannya ke ruang pengadilan anak di Pengadilan Negeri Bandung, Senin, 4 Mei 2015.
Yohana menyarankan Gubernur Basuki membangun pusat pelatihan bagi para pekerja seks saja. Tempat pelatihan tersebut, menurut Yohana, diharapkan dapat menjadi ruang bagi para pekerja seks untuk mengasah keterampilan mereka. Tujuannya, mereka bisa memilki pekerjaan yang lebih bermartabat.
"Justru saya menyarankan ada pusat pelatihan untuk pemberdayaan perempuan. Jadi mereka yang memiliki pekerjaan tidak terpuji bisa mendapat pekerjaan yang bermartabat," kata Yohana.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sedang mengkaji wacana legalisasi dan lokalisasi pelacuran. Ide ini diembuskan oleh Ahok. Kini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta masih melakukan pendataan dan penertiban para penghuni apartemen dan rumah susun.
Kendati demikian, lokalisasi prostitusi di Jakarta bukan merupakan hal baru. Pada 1970 hingga 1990-an, Jakarta pernah memiliki lokalisasi pelacuran Kramat Tunggak di Kramat Jaya, Kelurahan Tugu Utara, Kecamatan Koja, Jakarta Utara. Saat itu Jakarta dipimpin Gubernur Ali Sadikin.
Kramat Tunggak menjadi kompleks pelacuran terbesar di Asia Tenggara. Kala itu jumlah pelacur di sana lebih dari 2.000 orang di bawah kendali sedikitnya 258 muncikari alias germo.
Lokalisasi prostitusi itu menjadi sumber penghidupan lebih dari 700 pembantu, 800 pedagang asongan, dan 155 tukang ojek. Belum lagi tukang cuci dan pemilik warung makan yang bertebaran di sekitarnya. Lahan lokalisasi itu terus berkembang hingga 12 hektare. Namun, pada 1999, atas ide Gubernur Sutiyoso, lokalisasi ini ditutup dan di atas lahannya dibangun Jakarta Islamic Centre.