Sultan Yogya Dua Kali Serukan Sabdatama, Apa Bedanya?
Editor
Rini Kustiani
Senin, 9 Maret 2015 07:05 WIB
TEMPO.CO, Yogyakarta - Sultan Hamengku Buwono X mengucapkan sabdatama atau perintah tertinggi di Bangsal Kencana, Jumat, 6 Maret 2015. Bukan sekali ini Raja Keraton Yogyakarta itu mengeluarkan sabdatama untuk menyatakan sikap atas persoalan yang sedang berkembang. Pada 10 Mei 2012, Sultan juga pernah mengeluarkan sabdatama.
Pengajar di Jurusan Politik dan Pemerintahan FISIP UGM Yogyakarta, Bayu Dardias, mengatakan ada perbedaan besar antara sabdatama yang pertama dan yang kedua ini. Sabdatama pertama pada tiga tahun lalu itu mendapat dukungan politik yang besar, sehingga berhasil mencapai tujuannya: penerbitan Undang-Undang Keistimewaan DIY. "Sultan ditetapkan menjadi gubernur dan pengakuan atas tanah (keraton)," katanya pada Tempo, Ahad, 8 Maret 2015.
Dalam sabdatama 2012, Sultan menyatakan Keraton Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman adalah dwi tunggal. Kerajaan Mataram ini juga merupakan negeri merdeka dengan tata hukum dan pemerintahan sendiri yang tetap mengayomi Nusantara.
Sementara pada sabdatama 2015, Sultan melarang pihak luar, termasuk pejabat pemerintahan, mencampuri urusan penentuan tahta. Selain itu, dia juga menginginkan sabdatama ini menjadi dasar utama jika diperlukan merevisi Undang-Undang Keistimewaan.
Menurut Bayu, sabdatama 2015 ini masih terlalu dini untuk diucapkan. Salah satu alasan, proses dan dukungan politik isu itu belum sepenuhnya berjalan. "(Untuk berhasil) harus ada gerakan politik besar," ucapnya.
Wacana merevisi UU Keistimewaan juga terlalu cepat. Dari enam rancangan peraturan daerah istimewa, saat ini hanya Perdais tentang Keistimewaan DIY saja yang telah disahkan. Itu pun, ujar dia, penerbitan perda induk keistimewaan tersebut agar dana keistimewaan dari pemerintah pusat bisa segera dicairkan.
Adapun lima perdais lain belum satu pun yang disahkan DPRD DIY. Kelima perdais masing-masing mengatur urusan pokok keistimewaan DIY, yakni kelembagaan, pengisian jabatan, tata ruang, pertanahan, dan kebudayaan. "Pada sabdatama kedua ini, Sultan (terkesan) sedang menggelindingkan bola saja," ucapnya.
Menurut dia, sasaran sabdatama 2015 ini lebih mengarah pada kalangan internal Keraton. Kalau pun Sultan menginginkan revisi Undang-Undang Keistimewaan, sebaiknya itu ditempuh melalui pengajuan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. "Ini cara lebih sederhana," katanya.
Namun ia memperkirakan kecil kemungkinan Sultan sendiri yang akan menempuh jalur konstitusional itu. Kalau ada pengajuan judicial review atas Undang-Undang Keistimewaan, "Pasti orang lain yang melakukannya," ujarnya.
ANANG ZAKARIA