Tsunami Aceh, Dunia Soroti Hukum Syariat Islam
Editor
Bobby Chandra
Sabtu, 27 Desember 2014 05:00 WIB
TEMPO.CO , Jakarta: Sepuluh tahun setelah tsunami menerjang pantai barat Aceh, daerah tersebut kembali pulih. Ada perubahan di Aceh yang terjadi seiring rekonstruksi pascabencana. Salah satu yang disoroti dunia internasional adalah mengetatnya penerapan hukum syariat Islam di Serambi Mekah tersebut.
Setelah tsunami yang membunuh 167.540 orang, pemimpin lokal semakin mudah menyebarluaskan aturan agama seperti hukum cambuk di depan umum bagi pelanggar syariat. "Orang Aceh sekarang punya cara hidup baru," kata eks anggota Gerakan Aceh Merdeka Ramli Sulaiman kepada Wall Street Journal, Kamis, 25 Desember 2014.
Ramli merupakan salah seorang yang mendukung diterapkannya hukum syariat Islam termasuk hukuman seratus kali cambukan untuk kaum homoseksual dan orang yang tertangkap basah berhubungan seksual bukan dengan pasangan sahnya. (Baca: Jokowi Batal Hadiri Peringatan Tsunami Aceh)
Dahsyatnya bencana yang terjadi pada 26 Desember 2004 lalu itu berdampak pada kesepakatan damai antara GAM dan pemerintah Indonesia. Pada Agustus 2005, konflik separatisme yang telah 29 tahun bergulir di Aceh dihentikan. Kesepakatan itu mencakup penyerahan otonomi khusus bagi Aceh seperti pembagian anggaran lebih besar untuk pemerintah daerah Aceh dan terbentuknya partai lokal.
Sebelum tsunami, Aceh telah menerapkan hukum syariat dengan membentuk polisi dan pengadilan syariah yang terpisah dari sistem biasa. Selama sepuluh tahun terakhir, hukum tersebut semakin mendominasi di seluruh provinsi. Tahun ini, hukum syariat disebut juga diberlakukan bagi non-Muslim.
Polisi syariat, Wilayatul Hisbah, bertugas memastikan hukum tersebut dijalankan. Mereka secara rutin merazia tempat umum, meminta wanita berpakaian menutup aurat, menyuruh lelaki salat berjamaah di masjid, dan membubarkan pasangan belum menikah yang terlihat berduaan di tempat umum. (Baca: Tahun Tsunami Aceh, Ini Masalah yang Tersisa)
Lebih dari 150 orang telah dicambuk di depan publik karena kedapatan berjudi, mabuk-mabukan, dan berduaan dengan lawan jenis yang bukan muhrim. Amnesty International menyebut hukuman tersebut 'kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan.'
Kepala Dinas Syariat Islam Syahrizal Abbas menyatakan hukuman yang berlaku di Aceh tidak lah sekejam beberapa tempat lain di dunia. "Kami tidak membunuh, merajam, atau memotong tangan orang," kata Syahrizal. "Tujuan kami adalah menyadarkan manusia untuk berlaku baik dan mendapat pekerjaan baik pula."
MOYANG KASIH DEWIMERDEKA | WALL STREET JOURNAL
Baca Berita Terpopuler
Video ISIS Ancam TNI Beredar di YouTube
Perkosa WN Cina, Petugas Keamanan Bandara Dibekuk
Pengakuan Mengerikan Meriance, TKW yang Disiksa
Jokowi Larang Rapat di Hotel, Arya Bima Curhat
Dapat Salam Natal di Pesawat, Pria Ini Ngamuk
ISIS Pengancam TNI Rupanya 'Artis YouTube'
Bercanda di Grup Internet, Pegawai Ini Diadli
Paus Kritik Birokrat Gereja, Ini Kata Uskup Agung
Puluhan Ribu Orang Jadi Korban Banjir di Malaysia
Maulid, Harga Pangan di Sumenep Melonjak