TEMPO.CO, Banda Aceh - Presiden Joko Widodo gelisah dengan anjloknya perekonomian Aceh selama lima tahun terakhir, bahkan sempat minus 0,7 persen pada 2015.
Padahal anggaran Provinsi Aceh mencapai Rp 12 triliun per tahun dan terus melonjak. Anggaran itu belum ditambah APBD 23 kabupaten di Aceh yang mencapai Rp 20 triliun.
Pengamat ekonomi dari Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Rustam Effendi, menduga Pemerintah Provinsi Aceh salah mengambil kebijakan. Kata dia, selama ini, anggaran daerah hanya digelontorkan untuk hal-hal konsumtif. Rustam bicara banyak hal di hadapan sejumlah tokoh Aceh dan Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN).
"Ada persoalan di Aceh. Pemerintah salah memilih strategi ekonomi dan pisau analisisnya tidak tajam," ujar dia saat rapat bersama KEIN di Hotel Hermes Palace Aceh, Selasa, 28 Februari 2017. Data-data ekonomi dari Badan Pusat Statistik (BPS), kata dia, hanya menjadi tabel. Pemerintah tak pernah merumuskan arah pembangunan serta kenapa dan bagaimana itu bisa terjadi.
Dia melanjutkan, anggaran untuk pemerintah Aceh sangat besar. Tahun ini saja, APBD Aceh lebih dari Rp 14 triliun. Sebagian besar anggaran disuplai dari pemerintah pusat dengan adanya dana otonomi khusus. Setiap tiga bulan, mereka mendapat kucuran dana yang tak pernah diaudit.
Baca juga: Kunjungan Raja Salman, Fadli Zon: Agar Dimanfaatkan Indonesia
Dari total anggaran sebanyak itu, daerah hanya mengeluarkan Rp 2 triliun untuk belanja modal. Selebihnya digunakan untuk kepentingan membayar gaji pegawai dan sebagainya. Anggaran modal juga lebih banyak digunakan membangun gedung dan membeli mobil. "Mereka bukan membeli mesin untuk meningkatkan pertanian atau membangun kilang," kata dia.
Kepala BPS Wahyudin mengatakan pertumbuhan ekonomi Aceh dalam lima tahun terakhir selalu di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional, yakni 5,3 persen. Pertumbuhan ekonomi tahun lalu hanya 3,3 persen atau naik sedikit setelah sempat minus 0,7 persen. Pada 2013 hanya 2,6 persen dan pada 2014 hanya 1,5 persen.
"Proses penggunaan anggaran harus dilihat untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi," ucap Wahyudin saat terlibat dalam diskusi tersebut. Dia sepakat dengan catatan Rustam bahwa anggaran Aceh lebih banyak digelontorkan untuk hal-hal konsumtif. Harusnya pemerintah daerah mengembangkan sektor pertanian, wisata, dan perikanan yang selama ini terbengkalai.
Masalah yang sama juga terjadi di sektor perikanan yang seharusnya menjadi primadona Aceh. Kata dia, panjang garis pantai di Aceh lebih dari satu kilometer, tapi tidak memiliki industri pengolahan ikan. Sebagian besar hasil laut dijual ke Medan. Padahal Aceh memiliki empat pelabuhan berskala internasional.
Menurut Pengurus Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Aceh, Shalahudin Alfata, pemerintah pusat dan daerah harus turun tangan membangun industri pengolahan di Aceh yang dirintis BUMD atau BUMN. Para pengusaha, kata dia, belum berani masuk dan berinvestasi karena belum adanya kepastian bisnis. "Swasta masuk Aceh masih mikir karena faktor keamanan dan adanya palak sana-sini, apalagi pejabat sendiri bermain (sehingga) membuat swasta mundur," ucap dia.
Dia juga meminta pemerintah membentuk lembaga pengendali pangan, seperti di sejumlah negara tetangga. Dia melanjutkan, di Malaysia, ada lembaga yang bertugas mengendalikan harga pangan, seperti cabai, dan tomat, agar tetap stabil. Pemerintah siap membeli hasil panen petani dalam keadaan apa pun, baik saat panen raya maupun tidak.
Wakil Ketua KEIN Arif Budimanta akan merumuskan permasalahan yang dilaporkan sejumlah tokoh ke Presiden. Dia melihat Aceh mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi, padahal memiliki postur anggaran yang besar. "Selama ini, pemerintah daerah memang tidak mendampingi petani," ujar dia.
Dia sengaja datang ke Aceh untuk mengidentifikasi masalah yang dihadapi. Selain Aceh, ujar dia, juga ada beberapa daerah yang mengalami hal sama. Ada tiga kategori tugas KEIN, yakni pertumbuhan daerah yang lebih rendah dibanding daerah lain, daerah yang memiliki pertumbuhan di bawah nasional, dan terjadi deviasi pertumbuhan atas fluktuasi ekonomi.
"Di sini memang politiknya kencang sekali jadi terlihat ada miss-alokasi anggaran," tutur dia. Pihaknya ingin ada rapat trilateral yang berfokus membahas ini dengan partai politik, kementerian terkait, dan pemerintah daerah. Tujuannya agar anggaran dapat digelontorkan untuk membangun pertanian dan perikanan, bukan kegiatan belanja konsumtif.
AVIT HIDAYAT