Masjid Agung An-nur Pekanbaru tampak diselumti asap pekat dari sisa kebakaran hutan dan lahan sejak sepekan terakhir di Riau, 18 September 2014. TEMPO/Riyan Nofitra
TEMPO.CO, Jakarta - Greenpeace Indonesia, lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang lingkungan, mencatat jumlah titik api di Riau terus bertambah tiap tahun. Kenaikan tersebut terjadi sejak 2011 hingga Oktober 2014.
“Tak tanggung-tanggung, bertambahnya drastis,” kata Muhammad Tegus Surya, juru kampanye politik kehutanan Greenpeace Indonesia, saat berkunjung ke kantor Tempo, Jakarta Selatan, Jumat, 12 Desember 2014. (Baca: Asap, 2.000 Warga Riau Terserang ISPA)
Pada 2011, Greenpeace mencatat 6.644 titik api. Jumlah tersebut bertambah sekitar 25 persen pada tahun berikutnya menjadi 8.107 titik api. Kenaikan hampir 50 persen terjadi pada 2013 menjadi 15.112. Kebakaran di Riau mencapai puncaknya pada 2014. “Kami mencatat ada 21 ribuan lebih titik api sampai Oktober tahun ini,” ujar Teguh. (Baca: Jokowi Terima 3 Curhat dari Pemerintah Riau)
Teguh mengatakan banyak faktor penyebab bertambahnya titik api di Negeri Lancang Kuning itu. Dia menuding salah satunya ialah pembukaan lahan gambut oleh korporasi. “Perusahaan membuka kanal di mana-mana untuk mengeringkan lahan.”
Kanalisasi memang membuat lahan gambut kering. “Walhasil, lahan gambut tak punya cadangan air dan gampang terbakar,” kata Direktur Pusat Studi Bencana Universitas Riau Haris Gunawan.(Baca: Jokowi Batal Blusukan Asap, Warga Riau Kecewa)
Di Riau, khususnya di Pulau Tebing Tinggi, memang terdapat beberapa perusahaan yang membuka lahan gambut. Di antaranya, PT Nasional Sago Prima yang membuka lahan gambut untuk sagu dan PT Lestari Unggul Makmur yang membuka lahan untuk konsesi pohon akasia.