TEMPO Interaktif, Jakarta:Kalangan LSM, yang tergabung dalam Aceh Working Group (AWG) menyambut baik penurunan status darurat sipil di Aceh menjadi Tertib Sipil, yang akan dimulai 18 Mei 2005. Mereka mendukung sikap yang diambil pemerintah dan mendesak institusi negara lain seperti TNI, Polri dan masyarakat sipil menghormati kebijakan pemerintah. "Status darurat apapun memang sudah tidak relevan lagi apalagi dalam konteks masyarakat yang habis mengalami bencana dan konflik yang berkepanjangan,"kata Rafendi Djamin dari AWG dalam siaran pers di Jakarta, Selasa (17/5). Penerapan Darurat Militer dan darurat Sipil di Aceh selama ini jelas memberikan dampak buruk terutama ruang kebebasan gerak masyarakat sipil yang terampas, bahkan ruang gerak bantuan kemanusiaan dari dalam dan luar negeri juga terbatas.Namun, tambah Khoirul Anam pegiat AWG yang lain, menyatakan ada beberapa catatan penting yang harus diperhatikan dari berakhirnya status ini karena sampai saat ini ternyata belum ada perubahan kondisi sosial, politik dan keamanan yang sigifikan. Anam mencontohkan masih dominannya peran militer di Aceh, dimana penurunan status darurat menjadi tertib tidak diikuti pengurangan pasukan tapi malah ada tambahan pasukan TNI ke Aceh sebanyak 900 personil dari Batalyon 512 Malang Jawa Timur. "Harusnya kalau sudah menjadi tertib sipil hanya pasukan organik yang tersisa dan yang nonorganik ditarik dari Aceh,"katanya.Selain itu, kebijakan pemerintah yang didukung DPR tersebut tidak memberikan alasan-alasan yang menjadi dasar bagi kebijakan Tertib Sipil dan pemerintah juga belum memberikan pertanggungjawaban yang menyangkut hasil-hasil yang telah dicapai selama pemberlakuan Darurat Sipil di Aceh. "Pemerintah belum memberikan pertanggungjawaban yang menyangkut penggunaan anggaran operasi terpadu, khususnya yang berkenaan dengan operasi militer di sana,"kata Anam.Sebagai kelanjutan dari kebijakan pencabutan Darurat Sipil tersebut AWG meminta pemerintah mempertimbangkan berbagai aspek yang menjamin tertib sipil berjalan. Diantaranya, kebijakan tersebut tidak bertentangan dengan Perpres Nomor 30/2005dan Perpu Nomor 2/2005 yang mengandaikan asas transparansi dan akuntabilitas, partisipasi dan mendahulukan kepentingan umum. "Pemerintah juga harus bisa memulihkan hak-hak sipil masyarakat Aceh dan menjamin tidak ada perampasan pembatasan hak dengan alasan apapun,"ujarnya.Agus Supriyanto
Bagaimana Hukum dan Konsekuensi di Daerah Darurat Sipil?
12 Februari 2023
Bagaimana Hukum dan Konsekuensi di Daerah Darurat Sipil?
Salah satunya, menambah sejumlah kewenangan kepada presiden sebagai penguasa darurat sipil pusat, dan kepala daerah sebagai penguasa darurat sipil daerah.