Seorang anak laki-laki memakai masker wajah berdiri di dekat rumahnya di jalan ditutupi dengan abu dari letusan Gunung Kelud di Desa Ngantang di Malang, Jawa Timur Indonesia, (16/3). REUTERS/Dwi Oblo
TEMPO.CO, Kediri: Amuk Kelud benar-benar membuat babak belur warga di Dusun Laharpang, Desa Puncu, Kecamatan Puncu, Kabupaten Kediri. Bukan cuma tunggakan utang (baca bagian pertama: Warga Tunggak Utang Miliaran), rumah yang masih beratap langit, tapi juga upaya pemulihan tanaman pertanian yang menjadi tulang punggung warga amburadul.
Sumardi, warga setempat, petani cabai, ketika ditemui Rabu, 10 September 2014, mengaku mendapatkan benih kacang panjang dari Dinas Pertanian Kabupaten Kediri. Padahal komoditas tersebut bukan merupakan tanaman khas yang biasa dibudidaya petani di kawasan itu. Pun dengan benih jagung yang pada kenyataannya tak berbuah bagus ketika dipanen.
Saat ini Sumardi hanya bisa mengupayakan pengembalian kesuburan lahan yang berubah menjadi hamparan pasir. Sepetak demi sepetak dia menyingkirkan pasir dari kebunnya agar bisa ditanami cabai kembali.
Rencananya dia akan meminjam uang saudaranya untuk membeli benih nanti. Peluang mengajukan pinjaman ke bank sudah ditutup sebelum tunggakan mereka terselesaikan. “Apa yang mau dibuat untuk menyelesaikan (utang) kalau tak ada garapan,” katanya mengeluh.
Menurut data Bank Indonesia Kediri, nilai kredit macet warga di lereng Gunung Kelud mencapai Rp 248 miliar. Mereka berutang pada 18 lembaga bank umum dengan nilai kredit Rp 177,8 miliar dan 14 bank perkreditan rakyat dengan nilai pinjaman Rp 70,9 miliar. Jumlah warga yang mengajukan kredit mencapai 18.321 orang.
Bukan bermaksud melarikan diri atau menghindar dari tanggung jawab, warga memang tak memiliki uang sama sekali untuk mengangsur. Ini setelah seluruh aset mereka mulai rumah, perabotan, hingga lahan pertanian hancur lebur diterjang batu dan pasir Kelud, Februari lalu. (Baca: Warga Kelud Mau Mengadu ke Jokowi)